Latest News

segunda-feira, 16 de julho de 2012

Sejarah Singkat Desa Sugihen













Adapun jarak desa ini dari Ibu Kota Kecamatan Juhar ada sekitar 14 KM, dari Kota Kabupaten sekitar 41 Km dan 117 KM dari Ibu Kota Provinsi. Desa Sugihen secara keseluruhan memiliki luas sekitar 957 Ha, dengan batas-batas secara administratif sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Desa Pertumbungen Kecamatan Munte dan Sungai (Lau Bengap) Sebelah Selatan berbatasan denggan Desa Bekilang Kecamatan Juhar Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Nageri Kecamatan Juhar Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pernantin dan Desa Tigasiempat.
Ketika memasuki wilayah desa ini, akan dijumpai persimpangan yaitu simpang sugihen pernantin.

Memasuki wilayah pemukiman, akan dijumpai persimpangan yaitu simpang tiga atau biasa juga disebut warga simpang telu, dengan posisi menghadap kesebelah utara desa, simpang ke kanan adalah menuju wilayah barong (salah satu nama pemukiman warga) yang dapat juga menuju Desa Sukababo Kecamatan Munte. Dengan posisi posisi menghadap kesebelah selatan desa, simpang ke kiri adalah simpang yang menuju kesain berneh yang juga salah satu pemukiman penduduk atau biasa juga disebut rumah berneh.

Menurut cerita masyarakat sejarah desa mempunyai dua versi. Versi Pertama diawali dari silsilah Marga Ginting yaitu siwah sada Ginting (Ginting sugihen, Ginting Babo, Ginting Guru Patih, Ginting Suka, Ginting Beras, Ginting Bukit, Ginting Gara Mata, Ginting Ajar Tambun, dan Ginting jadi Bata). Ginting berasal dari kata genting (berbentuk guci). Pendiri (simanteki kuta) desa ini adalah bernama Sugihen dan bermarga Ginting, Sugihen adalah anak dari Tindang dan mempunyai delapan saudara laki-laki dan saeorang saudara perempuan. Pada akhirnya kesembilan saudara tersebut berpisah satu sama lain. Seiring dengan petengkaran tersebut kesembilan saudara tersebut menjadi terpisah dan mencari jalan masing-masing. Pada saat itu si Sugihen pergi kesuatu daerah yang belum ada penghuninya disana mendirikan sebuah perladangan di dekat tapin lau sang-sang (pancuran lau sang-sang). Beberapa lama kemudian ia mendirikan perkampungan dan tinggal menetap di desa ini sehingga pada seperti sekarang ini ia menamai desa ini dengan namanya sendiri yaitu Sugihen.

Versi Kedua hampir sama dengan versi pertama, hanya beda tempat, menurut cerita yang berkembang bahwa istri si Tindang menetas di penaperen yang berasal dari kata naper (menetas) yang merupakan nama sebuah perladangan yang terdapat di desa ini. Sugihen adalah pendiri desa ini ia bermaga Ginting. Seiring dengan terpisahnya kesembilan saudara tersebut si Sugihen memilih tetap tinggal di daerah ini dengan mendirikan perladangan. Beberapa lama kemudian ia mendirikan sebuah perkampungan dan menamainya dengan namanya sendiri.
Berdasarkan dua versi sejarah Desa Sugihen tersebut maka yang menjadi pemukiman sebelumnya penduduk pada awalnya adalah berada dirumah berneh yang salah satu menjadi pemukiman penduduk pada saat ini. Awalnya hanya beberapa rumah tangga dengan bentuk bangunan rumah adat (siwaluh jabu).


quarta-feira, 11 de julho de 2012

Kerja Tahun, Tradisi pada masyarakat Karo
















Masyarakat Karo adalah masyarakat pedesaan yang sejak dahulu mengandalkan titik perekonomiannya pada bidang pertanian. Tanaman padi adalah salah satu tanaman
penting, yang selain mengandung makna ekonomi juga memiliki keterkaitan terhadap unsur religi dan sosial. Panggilan khusus terhadap tanaman padi yaitu Siberu
Dayang menunjukkan penghargaan tersebut. Selain sebagai bahan pangan pokok, kekuatan ekonomi juga merupakan lambang prestise bagi masyarakat. Ukuran dan volume lumbung padi berpengaruh
terhadap tolak ukur keberadaan seseorang. Maka agar hasil yang diperoleh cukup memuaskan, semua proses penanaman dari awal hingga akhir harus diberikan
penghargaan dan disyukuri dengan harapan mencapai hasil yang baik.

Pada masa lalu proses penanaman padi dilakukan setahun sekali. Proses awal hingga akhir membutuhkan upacara agar berhasil dengan baik. Hal ini sesuai dengan
magis animistis pada masyarakat yang menganut ajaran Pemena. Upacara-upacara tersebutlah yang mendasari terselenggaranya kerja tahun pada masyarakat Karo.

Kerja tahun dapat diartikan sebagai pesta yang diselenggarakan masyarakat setahun sekali. Kata 'kerja' bermakna pesta dalam bahasa Karo. Kerja tahun ini
berdasarkan pada kegiatan pertanian tanaman padi. Terdapat perbedaan pelaksanaan pada beberapa daerah, di mana masing-masing lebih memfokuskan pada fase tertentu dari
pertumbuhan padi untuk merayakannya. Ada yang merayakan di masa awal penanaman, pertengahan pertumbuhan, ataupun masa panen.


Ginting (1999: 175-180), merumuskan nama kerja tahun di Karo sebagai berikut:
1. Merdang Merdem
Kerja tahun yang dilaksanakan saat dimulainya proses penanaman padi. Diawali dari penyemaian benih sampai ditanamkan di ladang (merdang). Kerja tahun ini biasanya dilakukan di daerah Tiga Binanga dan Munthe.

2. Nimpa Bunga Benih
Sering juga disebut 'ngamburngamburi'. Dilakukan ketika tanaman padi sudah berdaun (erlayuk, ersusun kulpah), yaitu berusia sekitar dua bulan. Hal ini biasa dilakukan di sekitar wilayah Kabanjahe, Berastagi, dan Simpang Empat.

3. Mahpah
Tradisi ini dilakukan ketika tanaman padi mulai menguning. Pelaksanaan kerja tahun ini dilakukan di sekitar wilayah Barus Jahe dan Tiga Panah.

4. Ngerires
Kerja tahun dilaksanakan ketika padi telah dipanen, sebagai ucapan syukur atas hasil yang diterima. Pelaksanaan tradisi ini biasa dilakukan di daerah Batu Karang


Semua acara di atas dilakukan sesuai kepercayaan 'pemena' dengan tata cara dan perlengkapan tertentu yang berbeda di setiap fase dan daerah. Selain hal di atas, kerja tahun juga memiliki fungsi lain yaitu mempererat ikatan kekerabatan. Saat kerja tahun, seluruh anggota keluarga berkumpul, termasuk yang dari luar daerah. Hal ini dimanfaatkan untuk sarana pulang kampung, mengunjungi para kerabat, melepas rindu, membicarakan hal-hal yang penting di tengah keluarga, sarana perjodohan putera dan puteri mereka juga untuk hiburan.

Sejalan dengan perkembangan waktu, terjadi perubahan di tengah-tengah masyarakat. Perekonomian masyarakat yang bersifat pertanian subsistensi bergeser kepada tanaman yang berorientasi pada kebutuhan pasar. Tanaman padi sudah mulai jarang ditanam, digantikan dengan tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan. Selain itu terjadi sikap yang lebih rasional atas konsep-konsep yang bersifat supranatural. Hal ini dipengaruhi oleh penyebaran agama, pendidikan serta
perkembangan teknologi di tengah kehidupan masyarakat. Kontak dengan masyarakat lain, seperti pendatang yang bermukim ke daerah-daerah komonitas Karo, maupun
transformasi masyarakat Karo menuju luar daerahnya turut mempengaruhi hal tersebut. Namun tradisi kerja tahun tetap berjalan

Antusias masyarakat untuk menyelenggarakan kerja tahun tetap saja besar, walaupun membutuhkan persiapan waktu, biaya dan tenaga kerja. Antusias tersebut tidak hanya pada masyarakat di desa namun juga yang sudah bermukim di luar. Hal ini terlihat pada kenyataan bahwa acara ini tidak pernah terlewatkan di setiap tahun serta tetap saja terjadi arus mudik masyarakat untuk menghadirinya.

Masyarakat Karo seperti masyarakat lainnya tentu mengalami dinamika yang mangakibatkan terjadinya perubahan-perubahan. Kerja tahun sebagai tradisi yang
merupakan kekayaan budaya masyarakat tetap dapat bertahan dalam artian bahwa pelaksanaan yang tetap rutin dilaksanakan pada setiap tahun. Namun sejalan dengan perubahan dalam masyarakat, harus diyakini bahwa telah terjadi proses adaptasi terhadap kondisi-kondisi di atas. Sangat memungkinkan bahwa faktor ekonomi dan religi yang menjadi konteks dan fungsi primer pelaksanaannya sudah bergeser bahkan tidak ditemukan lagi dalam pelaksanaan kerja tahun tersebut. Bahkan konteks dan fungsi lain yang sudah lebih dominan, seperti hiburan, prestise, dan sebagainya yang mewarnai pelaksanaannya.

Source : silima-merga.blog

Recent Post