Latest News

sábado, 12 de fevereiro de 2011

Sejarah Permotor Bas Taneh Karo



Laki Eget Permotor, Seorang pemuda Karo bernama Jem Tarigan Sibero atau di suku Karo disebut Pa Rasmi (kemudian disebut 'Laki Eget' karena ada kisah/ceritanya), terlahir di Desa Kidupen, Kecamatan Juhar di tahun 1924. Anak semata wayang pasangan Nerusi Tarigan Sibero dan Terangka br Ginting Jadibata dan cucu pertama dari Malem Tarigan dan Seh Ate br Ginting Tumangger. Mengawali kanak-kanaknya dan sekolah rakyat (vervolg school) di sana, hingga akhirnya (tidak tamat) dan menyusul rombongan ayahnya yang manteki kuta ke Lau Beski (sekarang jadi Lawe Desky di Aceh Tenggara) di tahun 1927.

Waktu itu (konon) tidak lebih dari 10 kelompok pengelana ke wilayah Barat Karo dan akhirnya menghentikan langkah di dataran rendah yang penuh dengan pohon beski (sejenis rumput?), hingga dinamakan Kuta Lau Beski yang sekarang masuk Kabupaten Aceh Tenggara Povinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keluarga kami 'Tarigan' adalah anak beru kuta di Lau Beski, kalimbubunya atau kalimbubu kuta dari kelompok Sembiring Meliala. Sekarang Lawe Desky berkembang menjadi 3 Desa (Lawe Desky I 'dulu Lawe Desky Kampung Karo-, Lawe Desky Tonga, dan Lawe Desky Sabas), tak hanya dihuni orang-orang dari Dataran Tinggi Karo atau Taneh Karo, berbagai suku-bangsa tinggal bersama dengan suasana damai dan telah menjadi Kecamatan Babul Makmur yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Lau Pakam, Kabupaten Karo.

Revolusi perjuangan, menghantarkan Laki Eget menjadi prajurit di jajaran BKR, (Barisan Keamanan Rakyat) namanya juga pemoeda tak tamat sekolah, paling banter menduduki pangkat terendah dalam kesatuannya pada waktu itu. Tidak banyak rekannya yang tau kalau 'Laki Eget' bergabung dalam keprajuritan dan kerjanya hanya 'kesana kemari' entah untuk urusan apa, dia tak pernah mau cerita kepada kami.

Tapi, cerita tentang revolusi, rumah keluarga kami di Lau Beski saat itu menempati posisi strategis, tepat di kaki bukit rangkaian Bukit Barisan bagian selatan (bagian utaranya adalah Bahorok, Langkat), rumah Laki Eget waktu itu memang berada di posisi paling berneh kuta, (selatan desa) berdekatan dengan sungai (Lau Beski), memang sejauh mata memandang seolah menjadi pos jaga paling strategis.

Raungan pesawat terbang jalur Medan > Langkat > Lau Deski, biasanya agak sedikit kesulitan mencapai rumah laki, karena membahayakan penerbangan. Sementara rumah lain dibombardir mortir, rumah kami selamat, dan juga menyelamatkan aset Republik, persenjataan, amunisi dan persediaan makan tentunya.

Revolusi juga yang menghantarkan Mayor Selamat Ginting Suka ke wilayah Kuta Cane dan sempat nerehken seorang gadis beru Ginting (Nd Polen beru Ginting Tumangger ' senina Iting Tengah kami) dengan seorang anggota prajuritnya bermarga Sembiring, romantisme revolusi. Secara administrasi negara, dalam darurat perang, pemerintahan juga memang dijabat oleh Pemerintahan Darurat Militer.

Konon, revolusi juga yang menghantarkan sebagian masyarakat Kidupen ke Lau Deski, sehingga di tahun 47-an komunitas Karo sudah banyak di desa tersebut. Beberapa waktu kemudian pertambahan penduduk juga mendorong pencarian lahan baru, waktu itu Laki Tengah (Ngunduk Tarigan) kelak Pa Kolam Tarigan) dan beberapa rekannya ke daerah Simpang Semadam dan Lawe Kinga. Selang beberapa waktu pernah juga terjadi pertikaian antar etnik, kelompok Karo waktu itu banyak bekerja sama dengan kelompok Alas. Itulah hidup.

Dari Prajurit jadi Permotor Deleng Pantar
Memasuki era kemerdekaan, khususnya dengan kebijakan rasionalisasi tentara dan laskyar, menghantar Laki Eget pada profesi baru, permotor. Sebagai anak tunggal, sekaligus cucu pertama, proposal permohonan dananya dengan mudah dipenuhi Bapak dan Lakinya waktu itu. Walau sebenarnya, dana terbesar di-support Bapak Tengahnya bernama Ngunduk Tarigan Sibero yang waktu itu berjualan kuda dan cabe (sayur-mayur) dari Takengon ' Tanah Karo > Takengon (konon dia penunggang kuda terbaik se kecamatan Tiga Binanga, setelah bosan berjualan kuda, akhirnya laki ini menjadi petani, sehingga anakbungsunyanya dinamai Tani). Bapaknya Laki Eget sendiri waktu itu selain bertani di Lau Beski, juga erlanja sira ke daerah Belawan.

Mobil bus Usaha Nasional PMG (Perusahaan Motor Gunung) dengan nomor lambung 27 atau 37 (saya dikisahkan oleh family, bukan oleh laki Eget) milik Laki Eget, katanya adalah bus pertama yang melintasi jalur Medan ' Kutacane. Layaknya mobil orang Karo jaman sekarang, di bagian belakangnya ditambahi tulisan 'DELENG PANTAR'?. Perjuman kalimbubu Tumangger mergana yang telah dihibahkan kepada keluarga kami Tarigan. Ditambah suara klaksonnya yang khas, konon bus Usaha Nasional PMG 'Deleng Pantar' ini cukup dikenal masyarakat di jalur trayek itu. Terutama di daerah Tanjung Pamah, Kecamatan Mardingding dan karena kekhasan klakson yang berirama tersebut telah memikat hati seorang gadis bernama Maria beru Sitepu (mamak saya) dari anak gadis pasangan keluarga Matpat Sitepu (Pa Bidjing *) dan Lepat br Tarigan Sibero yang berasal dari desa Tanjongpamah yang kelak menjadi Karo Eget (Nd Nurlina). Hmmm' Tarigan satu ini..

Profesi sebagai permotor, nampaknya mendapat kelas tersendiri dalam masyarakat Karo pada umumnya pada saat itu khususnya di pedalaman. Setidaknya di jaman komunikasi yang sangat minim saat itu, Permotor sering menjadi penungkunen tentang perkembangan- perkembangan yang tejadi di kota besar, seperti Kabanjahe dan Medan. Sekaligus, mereka adalah pembawa tren, mulai dari bon-bon (gula-gula) terbaru, ikan teri dan kopi yang paling berkualitas sampai dengan mode rambut dan pakaian. Bisa dibayangkan, ramainya pertanyaan-pertanyaan di kedai kopi saat Permotor berlabuh di sebuah kampung. Permotor juga menjadi mesenger untuk berbagai masalah, mulai dari berita meriah sampai dengan berita ceda ate. maupun sebagai jasa pos pengiriman uang antar desa dengan kota bagi anak sekolah-an Jadi tak salah kalau Laki Eget agak ngetop pada zamannya, tampang juga boleh sih�.he heee.

Era Deleng Pantar tak berjalan lama, terkena salah satu penyakit terberat Permotor ya�erjudi, pasti tidak semua seperti itu, tapi Laki Eget selalu terdepan dalam segalanya, huh� Entah karena nekat atau karena iseng, Deleng Pantar beserta keneknya, tidak lagi masuk kandang ke rumah kami di Pasar VII di Medan. Dahsyat taruhannya, gantinya ke rumah adalah down-grade Deleng Pantar. Pernah juga ada mobil Nasional bahkan mempunyai saudara beberapa buah, sampai akhirnya lenyap tak berbekas�, berganti lagi Sigantang Sira, terus hingga menghantarkan Laki Eget ke pengembaraan barunya Jakarta.

Membuka Rintisan Baru
Waktu itu saya belum genap berusia satu bulan di tahun 1971. Laki Eget melangkahkan kaki menuju ibu kota Jakarta, setelah mendengar banyak cerita gemerlap dan mudahnya meraup rupiah di Betawi. Daerah yang dituju adalah Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pool sekaligus komunitas Karo bermukim. Konon tidak mudah mencari kontrakan di sana, terutama jika diketahui calon ��kontraktor�� dari Sumatera (baca: Batak). Tidak sedikit yang berganti nama juga agama, agar bisa dapat kontrakan di sekitaran Tanah Kusir. Shock culture, terjadi di kalangan Betawi saat itu dan berlanjut terus hingga sekarang, komunitas Betawi semakin tergeser ke pinggiran Jakarta. Hal ini berakibat beberapa orang karo ada yang bermualaf, beberapa ada yang kembali ke keyakinan sebelumnya. Semua adalah pilihan.

Tak sampai setahun, kami diboyong sekeluarga ke Jakarta. Memang, Laki Eget ulet dalam berusaha. Mengontrak di sekitaran pool PT Saudaranta jalan Ciputat Raya Kebayoran Lama Jakarta Selatan, perusahaan otobus yang dikelola orang Karo pastinya (RO Sembiring) . Di Jakarta, kami mempunyai Bibi Baru (bibik angkat), kami memanggilnya Bibik Pool (Nande Girik/Ninta?), karena dia membuka warung di sekitaran pool dan suaminya bermarga Bangun, kebetulan mekanik di PT Saudaranta. Demikianlah kiranya kalak Karo di perlajangen, membentuk kekerabatan baru untuk menjalani ke-Karoan mereka seperti di Tanah Kemulihennya. Kalau kami main-main ke tempat bibik pool, sudah pasti semua makanan akan tumpah-ruah�. Baik sekali Bibik ini. Tak lama berselang juga kami punya satu orang Mama Baru, namanya Tulis Sitepu, lengkaplah kami sebagai keluarga Karo, berkalimbubu dan beranak-beru. Sudah lebih dari 30 tahun saya tidak kontak komunikasi dengan mereka.

Waktu itu kami punya sebuah tape recorder kecil, sering kami pakai bersama untuk mendengar lagu-lagu di radio juga beberapa kaset yang cukup aneh bagi kami. Laki Eget sering memutar rekaman sebuah upacara kenegaraan (mungkin peringatan 17 Agustus atau 5 Oktober, saya kurang ingat), yang pasti waktu itu komandan upacaranya bernama RK Sembiring, kalau tak salah masih berpangkat Mayor di tahun 1974-an. Setiap kali kami mendengar Laki Eget selalu mengatakan �Dia ini orang Karo��? Saat pertama saya tau Karo.

Tidak kurang dari 2 tahun, kami pindah dan menetap di Pesing Koneng-Cengkareng, kebetulan dekat dengan pool PT Gamadi (Gadjah Makmur Abadi) salah satu perusahaan otobus di tahun 70-an. Situasinya pasti tidak sama seperti sekarang, dulu belum ada jembatan yang menghubungkan jalan Daan Mogot dengan rumah kami di seberang. Kampung kami dulu terdiri dari beberapa keluarga, ada keluarga Siregar (CPM), Marbun (anggota Polri), Situmeang (penjual saksang), yang lainnya ada juga Andreas Sebayang dan Notes Ginting. Bersama dengan masyarakat setempat waktu dicetuskan untuk membuat ��arisan getek/rakit�� sebagai jalur penghubung dari kampung kami di seberang sungai dengan jalan Daan Mogot di seberang lain. Kami semua saling mendukung. Dan saat itu saya mengetahui Batak (saat itu banyak taktik dan kompak) di perlajangen.

Seiring perkembangan waktu, tidak kurang dari dua puluh Kepala Keluarga Karo menetap di sekitar Pesing Koneng dan Poglar (biarlah saya sebut beberapa yang teringat: Nd Ombot, Nd Kawar, Nd Baik, Nd Robin ��saya lebih kenal mereka, karena suaminya rata-rata kerja supir di siang hari) ditambah lagi anak perana tanggung yang mengadu nasib ke Jakarta (beberapa yang saya ingat Ramban Karo-karo?, Banglades Sembiring, Masana Sitepu, Asli Tarigan, Sapta Tarigan, Namin Karo-karo, Thomas Sitepu dll-semua ini donatur saya waktu kecil he hee). Jadi kebiasaan waktu itu, kepulangan ke kampung selalu diiringi pertambahan penduduk Jakarta. Waktu itu Jakarta tidak sepadat sekarang, ini malah menguntungkan banyak pihak, karena bisa mengurangi pengangguran di kampung. Laki Eget waktu itu adalah ��dosen killer� para pencari kerja tadi. Hampir semua dari mereka menangis sepulang dari magang di jalan. Hanya saja, begitu mereka dinyatakan lulus oleh Laki Eget, tidak ada hambatan untuk melamar ke perusahaan. Laki Eget begitu disegani hingga diangkat sebagai Sopir Teladan di tahun 1979. Dan setelah mengakiri karirnya hingga tahun 1981, walau demikian rekomendasinya masih berlaku di perusahaan, hingga akhirnya terjadi nasionalisasi perusahaan otobis menjadi PPD.

Sepulang dari menemani laki kami yang sudah sakit-sakitan di kampung, selanjutnya Laki Eget memulai lagi dunianya dengan RODA NIAGA. Waktu itu sekitar tahun 1984, dibuka trayek baru Cengkareng Grogol, untuk model kendaraan baru (Colt L-300) menggantikan menggantikan mobil Opelet di jalur yang sama. Seperti Deleng Pantar, di bagian belakangnya dibuat merek MEGET-EGET, sesuai lagu yang ngetop saat itu. Sejak itulah, tangkel LAKI EGET dikalangan keluarga kami dan tidak sedikit kawan-kawan Jawa-nya yang tertarik memberi merek yang sama setelah dijelaskan artinya oleh Laki Eget, tentu terutama kawan-kawan tua sebayanya. Ada juga pengusa mikrolet yang sukses waktu itu, bermarga Ginting, dibelakang mobil-mobilnyanya dibuat inisial GT. Selain di daerah Pesing Koneng, juga ada beberapa komunitas Karo di daerah Cengkareng, umumnya adalah crew dari Tasima, Bintang Seribu juga Liberty.

Berkembangnya komunitas ini biasanya diikuti dengan pengembangan perpulungen. Pepulungen yang saya tau waktu itu Kekelengen Keluarga Kidupen (anggotanya tak hanya Kidupen?), beberapa anggotanya yang saya ingat; Najib Karo-karo, Ngaloken Ginting, Jangoman Ginting, Thomas Ginting, Desman Ginting, Lefman Sembiring, Umar Ginting, Dahlan Kacaribu ada juga Katir Sembiring dan juga Lole (Leo) Ginting. Ini beberapa yang saya ingat, karena setiap perpulungen, saya selalu ikut serta. Entah atas alasan apa, waktu itu Laki Eget didaulat menjadi Ketua Perpulungen, mungkin anggota yang lainnya sibuk, atau memang dia dituakan/paling tua dalam kelompok itu. Padahal nama-nama tadi di atas cukup terkenal dan berpendidikan. Mungkin karena laki Eget supir dan anggotanya kebanyakan permotor sehingga pendekatannya ke bawah lebih cocok. Pernah sekali dilakukan gendang bersama komunitas Karo lainnya, diselenggarakan di GOR Kuningan, itu pertama kali saya tahu gendang Karo.

Cerita tentang olah raga dan mahasiswa, beberapa waktu berselang ada mahasiswa UI jurusan Sastra Perancis ? , namanya Lion Tarigan, rambutnya kribo mirip Ahmad Albar, dia jago Silat. Dia membuka 2 perguruan silat, satu bertempat di Kalimati-Cengkareng, satu lagi di Tanah Tinggi-Tangerang. Muridnya silatnya kebanyakan para kondektur (kalak Karo) juga anak-anak sekolah di sekitar sebaya saya. Tampaknya keahlian bela diri berguna untuk menambah percaya diri di pasar simbelang. Separah-parahnya bila terjadi masalah di lapangan, waktu itu ada juga Letkol Seh Tarigan di Kepolisian.

Beberapa kelompok anak perana banyak juga yang bermigrasi ke daerah Lampung, di perusahaan bus Bina Jasa, Budi Jasa dan juga Karona. Perkembangan di Lampung cukup pesat nampaknya, (kebetulan saat SMA -3 tahun- saya tinggal di Lampung) waktu itu ada beberapa tokoh orang Karo, Taren Sembiring, Amir Sebayang dan Binana Karo-karo?? Pesatnya perkembangan di Lampung diikuti dengan perkembangan gereja GBKP (tentu umatnya bukan cuma keluarga sopir), saya sempat mengikuti acara peresmian pemugaran GBKP di Way Halim-Bandar Lampung, juga beberapa waktu kemudian diresmikan GBKP di Bandar Jaya �� Metro. Mungkin demikian juga di Peninggaren dan Cengkareng, juga di Tanah Tinggi. Di Lampung saya sempat mengikuti gendang 2 kali, sekali di pool Karona, sekali lagi di GOR Saburai.

Laki Eget dan semua teman-temannya permotor adalah generasi perubahan pada jamannya. Generasi permotor pada kesempatan berikutnya menghantarkan banyak tamatan SMA (waktu itu) untuk meneruskan sekolahnya di Jakarta. Juga, generasi permotor telah menghasilkan generasi baru ��Karo �� Jakarta�� yang sadar pendidikan. Di tahun 90-an banyak orang Karo yang beralih profesi sebagai perbinaga juga membuka toko, sementara generasi terdidiknya mulai masuk ke berbagai institusi negara dan juga swasta

Cerita ini diangkat bukan untuk mengkultuskan, lebih pada satu sisi rangkaian perjalanan Karo di ibukota yang dimotori oleh Permotor (penggusahanya, sopir, kondektur, mekanik, perbinaga dan seluruh keluarganya), sebagai permotor Laki Eget barangkali punya banyak khilafan dan kesalahan, sebagai ahli warisnya saya mohon diberikan maaf kepada almarhumah. Dan atas penulisan atau intepretasi yang keliru dalam penulisan ini, saya memohon maaf dan mohon klarifikasinya.

Lebih khusus, saya lebih mengidentifikasi dia (Laki Eget) sebagai supir daripada pengusaha permotor, karena nampaknya dia lebih sukses sebagai supir, dia banget�gituuu kata anak sekarang he heee� Dan saya bangga sekali.
Salute buat Laki Eget. Salute man permotor kerina.
Mejuah-juah.
(Kikin Tarigan)




domingo, 6 de fevereiro de 2011

Sejarah Moria di GBKP



Sejarah Moria di GBKP

Persekutuan perempuan Karo dimulai dengan persekutuan perempuan dan para pemudi yang dipelopori oleh Nr.Van Den Berg, Ny.Dr, de Klein, Suster Meyer, Pertumpun Purba, Nimai Purba. Dengan mengingat bagaimana pentingnya peranan perempuan-perempuan ini baik dalam mendukung pelayanan di Gereja maupun di masyarakat, maka pada waku itu sudah dianggap perlu untuk mengadakan pertemuan. Maka diadakanlah pertemuan pertama yang dihadiri oleh 24 orang di sekolah Christelyke HIS Kabanjahe, yang dinamai dengan CMCM (Christelyke Meisjes Club Maju) yang berdiri pada tanggal 30 Juli 1930. Adapun program yang dilakukan kelompok ini adalah : bernyanyi, berdoa, koor, membaca dan menulis; pengetahuan umum yaitu: kesehatan dan kebersihan, menata dan melayani jamuan makan, menjahit dan tata boga. Setelah Nr. Van Den Berg kembali ke negeri Belanda, maka tugasnya digantikan oleh Nr. Pdt. Neuman Bosch dan Nr.Pdt. Vuurmans.

CMCM ini semakin lama semakin berkembang dalam seluruh programnya dan pada bulan Agustus 1934 membuat pertemuan untuk membicarakan kelanjutan persekutuan ini yang dipimpin oleh Nr. Pdt. Neuman dan pada saat ini terbentuk kepengurusan sebagai berikut:
Ketua I : Nora Pdt. Neuman Bosch
Ketua II : Nimai Br Purba (Nd. Paulus)
Sekretaris I : Loise Br Sembiring (Nd. Felix)
Sekretaris II : Kesena Pohan
Penning meester I: Bakul Br Ginting Suka Penning meester II : Ngire Br Sembiring
Commisarissen : Nora Pdt. Vuurmans, Pertumpun Br Purba, Suster Meyer

Kepengurusan ini tidak berlangsung lama, kemudian pelayanan ditangani langsung oleh Nora Pdt. Neuman dengan membentuk staf yaitu:
Ketua I : Nora Pdt. Neuman Bosch
Ketua II : Nora Pdt. Vuurmans
Sekretaris I : Ny. Pdt. Schoonhoven
Sekretaris II : Suster Meyer
Penning meester I : Ny. Dr. de Kleijn
Penning meester II : Ny. Smith
Juga dibantu oleh beberapa orang commisarissen, yang kemudian menjadi pengurus CMCM. Oleh karena semakin banyak yang masuk ke dalam kelompok ini, maka disediakan guru untuk mengajar. Kelompok CMCM semakin berkembang ditengah perempuan Karo yang diikuti dengan berdirinya beberapa club CMCM di Kabanjahe, yaitu :
~ Club untuk anak-anak
~ Club untuk remaja
~ Club untuk pemudi
~ Club untuk kaum ibu

Dengan bertambah majunya CMCM ini maka beberapa kegiatan seperti koor, membaca, menulis, pengetahuan umum umpamanya kesehatan dan kebersihan, menyediakan teh, makanan dan menghidangkannya juga bertambah. Pada awalnya memang yang menjadi guru adalah Nora pendeta tetapi kemudian siswa yang sudah mampu melakukannya secara bergantian ikut mengambil bagian. Akhirnya, dianggap perlu menyediakan guru buat CMCM ini. Guru yang pertama yaitu, Bakul br Ginting Suka (Nd.Rasmita) dan Perembahen br Barus. Dalam perjalanannya, semakin nyatalah yang menjadi tujuan dari CMCM ini yaitu, Mengabarkan Kabar Baik, Mengajak dan mendukung agar anak-anak perempuan dapat mengenyam pendidikan, Memberantas poligami, Mengadakan kursus yang berguna untuk anak-anak perempuan (gadis) dan juga kaum ibu. CMCM berkembang terus menerus karena mendapat dukungan baik moril maupun material dari raja-raja di Tanah Karo, dan semua yang menjadi pengurus dan guru-guru terlibat secara aktif. Oleh karena perkembangannya semakin pesat maka berdirilah CMCM di wilayah Karo Gugung dengan bantuan Raja-raja di Tanah Karo, CMCM di Karo Jahe. Pada tahun 1937 guru CMCM angkatan yang ke-2 ada sebanyak 7 orang yaitu ;
  1. Hanna Br Munthe
  2. Ngendes Br Sembiring
  3. Christina Br Meliala
  4. Nungkun Br Ginting
  5. Nawari Br Tarigan
  6. Megiken Br Sinuraya
  7. Rehulina Br Ketaren
Selanjutnya angkatan yang ke- 3 yaitu :
1. Lemah Br Sinulingga
2. Tendung Br Sinulinga
3. Lidia Br Ginting Suka
4. Martha Br Munthe
5. Martha Br Munthe (Karo Jahe)
6. Lina Br Munthe
7. Perngis Br Brahmana
8. Permisi Br Tarigan
9. Cakap Br Brahmana (Karo Gugung)

Dalam perkembanganna CMCM ini semakin luas tidak hanya di Karo Gugung, tapi terus ke Karo Jahe (umpamanya: Kuta Tualah, Delitua, Peria-ria, Kutajurung, Sibolangit, Buluhawar dan Bingkawan). Pada tanggal 13 Maret 1942 tentara Jepang datang ke Indonesia, semua orang Belanda ditangkap, termasuk Pendeta-pendeta Belanda yang diutus oleh badan Zending kepada masyarakat Karo. Dalam situasi demikian, pelayanan dan program menjadi terhambat dan mandek. Kemudian pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang mengalami kekalahan dalam peperangan, dimana kota Nagasaki dan Hirosima hancur dibom atom oleh tentera Sekutu. Maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, dan selanjutnya bekas anggota CMCM mulai melanjutkan perkumpulannya. Beberapa perempuan baik tua dan muda baik itu yang ada di Kabanjahe maupun yang ada di Berastagi, Surbakti, Pancur Batu, Sibolangit, Medan yaitu wilayah yang sudah ada jemaat (gereja) GBKP.

Akhirnya banyaklah anggota dari CMCM ini yang mengaku Yesus Kristus'lah yang menjadi Juruselamatnya dan kemudian menerima untuk dibabtiskan. Demikianlah perempuan
kemudian memperlihatkan keaktifan mereka dalam kehidupan berjemaat dengan membuat dan melaksanakan program mengunjungi yang berdukacita, mengunjungi anak yang baru lahir, membaca dan menelaah Alkitab, bernyanyi, berdoa dan koor. Untuk mendukung kegiatan ini dan untuk keseragamannya akhirnya mereka membuat kepengurusan perempuan (ibu) baik itu di wilayah Karo Jahe maupun Karo Gugung. Pengurus-pengurus tersebut terus menerus melakukan kontak, hubungan Pengurusnya adalah Nd.Rasmita br Ginting Suka (Bakul br Ginting Suka), Nd.Wasti br Tarigan, Nd.Sutradara br Purba, Truida br Girsang, Nd.Julia br Bukit, K.Muham, Nd.Felix, semuanya berharap agar persekutuan kaum ibu ini seragam dan bersatu. Dan akhirnya mereka inilah semua yang menjadi pengurus Moria GBKP. Melalui Majelis (Runggun Gereja) diusulkan ke Sidang Synode tahun 1956 di Tigabinanga, dibicarakanla agar ada satu organisasi perempuan. Dalam persidangan ini terjadi pro dan kontra tapi keputusannya, sidang merasa baik adanya membuat satu organisasi ditengah-tengah gereja GBKP khusus kaum ibu, untuk menjadi satu organisasi yang baik dan teratur supaya persekutuan ini tidak jauh dari GBKP tapi di dalam GBKP. Dan tujuan lain supaya kegiatan kaum ibu dapat bersatu dan mendukung aktivitas perempuan. Kemudian untuk realisasi persetujuan sidang tersebut maka sinode GBKP menunjuk Gr.Ag.Rachel Sinuraya untuk mempersiapkan rencana pertemuan dan mempersiapkan anggaran dasarnya.

Source : silima-merga.blog

sábado, 5 de fevereiro de 2011

Sejarah Kabupaten Karo Zaman Kemerdekaan



Sejarah Kabupaten Karo Zaman Kemerdekaan

Kabar-kabar angin bahwa Belanda akan melancarkan agresi I militernya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia kian semakin santer, puncaknya, pagi tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke seluruh sektor pertempuran Medan Area. Serangan ini mereka namakan 'Polisionel Actie' yang sebenarnya suatu agresi militer terhadap Republik Indonesia yang usianya baru mendekati 2 tahun.
Pada waktu kejadian itu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Pematang Siantar dalam rencana perjalanannya ke Banda Aceh. Di Pematang Siantar beliau mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan. Dilanjutkan pada tanggal 23 Juli 1947 di Tebing Tinggi. Pada arahannya dengan para pemimpin-pemimpin perjuangan, wakil presiden memberikan semangat untuk terus bergelora melawan musuh dan memberi petunjuk dan arahan menghadapi agresi Belanda yang sudah dilancarkan 2 hari sebelumnya. Namun Wakil Presiden membatalkan perjalanan ke Aceh dan memutuskan kembali ke Bukit Tinggi, setalah mendengar jatuhnya Tebing Tinggi, pada tanggal 28 Juli 1947. Perjalanan Wakil Presiden berlangsung di tengah berkecamuknya pertempuran akibat adanya serangan-serangan dari pasukan Belanda.
Rute yang dilalui Wakil Presiden adalah Berastagi-Merek-Sidikalang-Siborong-borong-Sibolga-Padang Sidempuan dan Bukit Tinggi. Di Berastagi, Wakil Presiden masih sempat mengadakan resepsi kecil ditemani Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan, Bupati Karo Rakutta Sembiring dan dihadiri Komandan Resimen I Letkol Djamin Ginting's, Komandan Laskar Rakyat Napindo Halilintar Mayor Selamat Ginting, Komandan Laskar Rakyat Barisan Harimau Liar (BHL) Payung Bangun dan para pejuang lainnya, di penginapan beliau Grand Hotel Berastagi. Dalam pertemuan itu wakil presiden memberi penjelasan tentang situasi negara secara umum dan situasi khusus serta hal-hal yang akan dihadapi Bangsa Indonesia pada masa-masa yang akan datang.
Selesai memberi petunjuk, kepada beliau ditanyakan kiranya ingin kemana, sehubungan dengan serangan Belanda yang sudah menduduki Pematang Siantar dan akan menduduki Kabanjahe dan Berastagi. Wakil Presiden selanjutnya melakukan: 'Jika keadaan masih memungkinkan, saya harap supaya saudara-saudara usahakan, supaya saya dapat ke Bukit Tinggi untuk memimpin perjuangan kita dari Pusat Sumatera'.
Setelah wakil presiden mengambil keputusan untuk berangkat ke Bukit Tinggi via Merek, segera Komandan Resimen I, Komandan Napindo Halilintar dan Komandan BHL, menyiapkan Pasukan pengaman. Mengingat daerah yang dilalui adalah persimpangan Merek, sudah dianggap dalam keadaan sangat berbahaya.
Apabila Belanda dapat merebut pertahanan kita di Seribu Dolok, maka Belanda akan dengan mudah dapat mencapai Merek, oleh sebab itu kompi markas dan sisa-sisa pecahan pasukan yang datang dari Binjai, siang harinya lebih dahulu dikirim ke Merek. Komandan Resimen I Letkol Djamin, memutuskan, memerlukan Pengawalan dan pengamanan wakil presiden, maka ditetapkan satu pleton dari Batalyon II TRI Resimen I untuk memperkuat pertahanan di sekitar gunung Sipiso-piso yang menghadap ke Seribu Dolok, oleh Napindo Halilintar ditetapkan pasukan Kapten Pala Bangun dan Kapten Bangsi Sembiring.
Sesudah persiapan rampung seluruhnya selesai makan sahur, waktu itu kebetulan bulan puasa, berangkatlah wakil presiden dan rombongan antara lain: Wangsa Wijaya (Sekretaris Priadi), Ruslan Batangharis dan Williem Hutabarat (Ajudan), Gubernur Sumatera Timur Mr. TM. Hasan menuju Merek. Upacara perpisahan singkat berlangsung menjelang subuh di tengah-tengah jalan raya dalam pelukan hawa dingin yang menyusup ke tulang sum-sum.
Sedang sayup-sayup terdengar tembakan dari arah Seribu Dolok, rupanya telah terjadi tembak-menembak antara pasukan musuh / Belanda dengan pasukan-pasukan kita yang bertahan di sekitar Gunung Sipiso-piso.
Seraya memeluk Bupati Tanah Karo Rakutta Sembiring, wakil presiden mengucapkan selamat tinggal dan selamat berjuang kepada rakyat Tanah Karo. Kemudian berangkatlah wakil presiden dan rombongan, meninggalkan Merek langsung ke Sidikalang untuk selanjutnya menuju Bukit Tinggi via Tarutung, Sibolga dan Padang Sidempuan.
Sementara itu, keadaan keresidenan Sumatera Timur semakin genting, serangan pasukan Belanda semakin gencar. Akibatnya, ibu negeri yang sebelumnya berkedudukan di Medan pindah ke Tebing Tinggi.
Bupati Rakutta Sembiring, juga menjadikan kota Tiga Binanga menjadi Ibu negeri Kabupaten Karo, setelah Tentara Belanda menguasai Kabanjahe dan Berastagi, pada tanggal 1 Agustus 1947.
Namun sehari sebelum tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi, oleh pasukan bersenjata kita bersama-sama dengan rakyat telah melaksanakan taktik bumi hangus, sehingga kota Kabanjahe dan Berastagi beserta 51 Desa di Tanah Karo menjadi lautan Api.
Taktik bumi hangus ini, sungguh merupakan pengorbanan yang luar biasa dari rakyat Karo demi mempertahankan cita-cita luhur kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat dengan sukarela membakar apa saja yang dimiliki termasuk desa dengan segala isinya.
Kenyataan itu telah menyebabkan wakil presiden mengeluarkan keputusan penting mengenai pembagian daerah dan status daerah di Sumatera Utara yang berbunyi sebagai berikut:
�Dengan surat ketetapan Wakil Presiden tanggal 26 Agustus 1947 yang dikeluarkan di Bukit Tinggi, maka daerah-daerah keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, kabupaten Tanah Karo, dijadikan satu daerah pemerintahan militer dengan Teungku Mohammad Daud Beureuh sebagai Gubernur Militer. Sedangkan daerah-daerah keresidenan Tapanuli, Kabupaten Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu menjadi sebuah daerah pemerintahan Militer dengan Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer. Masing-masing Gubernur Militer itu diangkat dengan Pangkat Mayor Jenderal.
Selanjutnya melihat begitu besarnya pengorbanan rakyat karo ini, wakil presiden Drs. Mohammad Hatta menulis surat pujian kepada rakyat Karo dari Bukit Tinggi pada tanggal 1 Januari 1948. Adapun surat wakil presiden tersebut selengkapnya sebagai berikut:
Bukittinggi, 1 Januari 1948
�Kepada Rakyat Tanah Karo Yang Kuncintai�.
Merdeka!
Dari jauh kami memperhatikan perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan Saudara-saudara yang rumah dan kampung halaman habis terbakar dan musuh melebarkan daerah perampasan secara ganas, sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO.
Tetapi sebaliknya kami merasa bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita.
Saya bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati. Rumah yang terbakar, boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar pendirian Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan. Demikian pulalah tekad Rakyat Indonesia seluruhnya. Rakyat yang begitu tekadnya tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan cita-citanya.
Di atas kampung halaman saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi.
Kami sudahi pujian dan berterima kasih kami kepada Saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: �Sekali Merdeka Tetap Merdeka�.
Saudaramu,
MOHAMMAD HATTA
Wakil Presiden Republik Indonesia
Selanjutnya, untuk melancarkan roda perekonomian rakyat di daerah yang belum diduduki Belanda, Bupati Rakutta Sembiring mengeluarkan uang pemerintah Kabupaten Karo yang dicetak secara sederhana dan digunakan sebagai pembayaran yang sah di daerah Kabupaten Karo.
Akibat serangan pasukan Belanda yang semakin gencar, akhirnya pada tanggal 25 Nopember 1947, Tiga Binanga jatuh ke tangan Belanda dan Bupati Rakutta Sembiring memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Karo ke Lau Baleng. Di Lau Baleng, kesibukan utama yang dihadapi Bupati Karo beserta perangkatnya adalah menangani pengungsi yang berdatangan dari segala pelosok desa dengan mengadakan dapur umum dan pelayanan kesehatan juga pencetakan uang pemerintahan Kabupaten Karo untuk membiayai perjuangan.
Setelah perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, Pemerintah RI memerintahkan seluruh Angkatan Bersenjata Republik harus keluar dari kantung-kantung persembunyian dan hijrah ke seberang dari Van Mook yaitu daerah yang dikuasai secara de jure oleh Republik.
Barisan bersenjata di Sumatera Timur yang berada di kantung-kantung Deli Serdang dan Asahan Hijrah menyeberang ke Labuhan Batu. Demikian pula pasukan yang berada di Tanah Karo dihijrahkan ke Aceh Tenggara, Dairi dan Sipirok Tapanuli Selatan. Pasukan Resimen I pimpinan Letkol Djamin Ginting hijrah ke Lembah Alas Aceh Tenggara. Pasukan Napindo Halilintar pimpinan Mayor Selamat Ginting hijrah ke Dairi dan pasukan BHL pimpinan Mayor Payung Bangun hijrah ke Sipirok Tapanuli Selatan.
Berdasarkan ketentuan ini, dengan sendirinya Pemerintah Republik pun harus pindah ke seberang garis Van mook, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Karo yang pindah mengungsi dari Lau Baleng ke Kotacane pada tanggal 7 Pebruari 1948. Di Kotacane, Bupati Rakutta Sembiring dibantu oleh Patih Netap Bukit, Sekretaris Kantor Tarigan, Keuangan Tambaten S. Brahmana, dilengkapi dengan 14 orang tenaga inti.
Selanjutnya untuk memperkuat posisi mereka, Belanda mendirikan Negara Sumatera Timur. Untuk daerah Tanah Karo Belanda menghidupkan kembali stelsel atau sistem pemerintahan di zaman penjajahan Belanda sebelum perang dunia kedua.
Administrasi pemerintahan tetap disebut Onder Afdeling De Karo Landen, dikepalai oleh seorang yang berpangkat Asisten Residen bangsa Belanda berkedudukan di Kabanjahe. Di tiap kerajaan (Zeifbesturen) wilayahnya diganti dengan Districk sedangkan wilayah kerajaan urung dirubah namanya menjadi Onderdistrick.
Adapun susunan Pemerintahan Tanah Karo dalam lingkungan Negara Sumatera Timur adalah: Plaatslijkbestuur Ambteenaar, A. Hoof. Districthoofd Van Lingga, Sibayak R. Kelelong Sinulingga, Districhoofd Van Suka, Sibayak Raja Sungkunen Ginting Suka, Districhoofd Van Sarinembah, Sibayak Gindar S. Meliala, Districthoofd Van Kuta Buluh, Sibayak Litmalem Perangin-angin.


Source : silima-merga.blog

Sejarah Kecamatan Barusjahe



Sejarah Kecamatan Barusjahe

Berdasarkan buku "Barus Mergana", buku "Sejarah Simbelang Pinggel", buku "Sejarah dan Kebudayaan Karo", maupun hasil wawancara dengan beberapa sesepuh Barus, Tarigan dan Ginting sebagai "Anak Beru Tua" maka nenek moyang merga Barus berasal dari "Barus", suatu tempat yang letaknya di Kabupaten Tapanuli Tengah berbatasan dengan Aceh Selatan ditepi Pantai Samudera Indonesia.

Menurut ceritanya, disebabkan satu dan lain hal, Nenek Moyang Marga Barus meninggalkan kampung halamannya dan mengembara dengan berjalan kaki melalui hutan belukar, mendaki gunung, menuruni lembah dan menyeberangi sungai hingga akhirnya sampai di suatu desa yang disebut "Kuta Usang" di sekitar Kabupaten Dairi. Mereka bermohon kepada Penghulu/Penguasa setempat supaya diizinkan tinggal beberapa hari sebelum meneruskan pengembaraannya. Karena pintar bergaul dengan masyarakat maka penghulu dan penduduk Kuta Usang sangat menyenangi Merga Barus. Disebabkan satu dan lain hal maka Merga Barus meneruskan petualangannya menurut kehendak hatinya. Setelah berjalan beberapa hari tibalah Merga Barus di Kampung Ajinembah, kampungnya Merga Ginting Munte Kabupaten Karo.

Di kampung Ajinembah Merga Barus juga disenangi Penghulu, maupun masyarakat sehingga akhirnya Merga Barus diangkat menjadi Kalimbubu Penghulu Ajinembah Merga Ginting Munte. Dari kampung ini, petualangan diteruskan hingga sampai di kaki Gunung/Deleng Barus (Kabupaten Karo) yang disebut "Belagen". Disinilah pertama sekali Merga Barus mendirikan gubuknya. Suatu malam Merga Barus bermimpi agar ia segera pindah ke "Jahen" dari Belagen sebelah hilir, karena di sanalah tempat yang serasi serta mendatangkan rezeki. Akhirnya Merga Barus pindah ke Jahen Belagen.

Untuk menentukan nama apakah yang cocok bagi tempat yang baru ini maka teringatlah Marga Barus nama asal tempat tinggalnya sebelum merantau yaitu "Barus"
dan supaya tempatnya yang lama (Belagen) dengan tempatnya baru itu ada sangkut pautnya dan dirasakannya tempat yang baru ini di sebelah hilir letaknya, maka
Merga Barus menamakan tempat itu "Barusjahen". Ucapan Barusjahen akhirnya terbiasa diucapkan dengan Barusjahe sehingga berubah namanya menjadi Barusjahe yang berkembang menjadi Kerajaan yang dipimpin oleh seorang Raja disebut Sibayak Barusjahe. Kekuasaanya meliputi "Urung Si Enemkuta" yang diperintah oleh
Raja Urung Merga Karo Karo Sitepu dan "Urung Si Pitukuta" yang dipimpin Raja Urung Merga Barus.

Tempat yang baru dan berkembang menjadi kerajaan dan seterusnya menjadi tempat kedudukan dari kepala Swa Praja, Asisten Wedana, Wedana dan Camat sampai sekarang. Merga Barus di tempat yang baru ini memperoleh dua orang anak laki-laki,
a. Anak yang sulung (Sintua) tinggal tetap di Kampung Barusjahe, mendapat lima orang putra yang namanya di berikan sesuai kesukaan (hobby) yang diperlihatkan putra-putranya yaitu :
1. Si Jambur Lige
2. Si Gedang
3. Si Beras
4. Si Barus Pinto
5. Si Niring
Masing-masing anak mendirikan Rumah Adat yang penghuninya lambat laun bertambah. Akibat pertambahan penghuni ini maka didirikan Rumah Adat baru sehingga terbentuk satu komplek Rumah Adat (Kesain) seperti nama tersebut di atas. Dari itu pula terjadi sub-sub Merga Barus seperti nama tersebut di atas.

b. Anak yang bungsu (Singuda) satu dari anggota tubuhnya tidak normal yaitu daun telinganya luar biasa lebarnya, oleh karena itu dinamai "Simbelang Pinggel" yang mana telinganya tersebut dapat menyelimuti seluruh tubuhnya. Simbelang Pinggel pergi bertualang ke arah pesisir karena tertarik oleh kabar tentang harimau putih dan anugrah yang dijanjikan Raja/Sultan di daerah itu bila seseorang dapat membunuh harimau putih tersebut. Harimau putih mengganas di Kerajaan Pesisir sejak beberapa waktu lamanya dan belum ada orang yang sanggup membunuhnya. Daerah yang dulunya aman, makmur dan berpenduduk banyak, beralih menjadi daerah tidak aman sehingga ditinggalkan oleh penduduknya. Barus "Simbelang Pinggel" berhasil membunuh harimau putih dan sesuai janji Raja Pesisir maka mengawinkan putrinya dengan si Barus. Karena perkawinannya itu maka si Barus tidak lagi kembali ke Kampung Barusjahe, tetapi menjadi raja di suatu daerah yang semua penduduknya suku Karo di luar daerah pesisir. Kecamatan Barusjahe salah satu wilayah pemerintahan telah ada sebelum terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang disebut dengan istilah "Kerajaan Barusjahe".

Sebelum pemerintahan Belanda berkuasa di Tanah Karo, kerajaan ini mempunyai kepala pemerintahan sendiri (FZELF Bestuurder) artinya kepala pemerintahan kerajaan selain sebagai Kepala Pemerintahan juga sebagai Kepala Adat dan Ketua Kerapaten (Pengadilan) yang paling tinggi di kerajaan ini. Pada zaman pemerintahan Jepang, Kerajaan Sibayak Barusjahe pernah mendapat penghargaan sebagai Pemerintahan Kerajaan Terbaik di Sumatera Timur. Setelah proklamasi kemerdekaan RI, kekuasaan raja telah dibatasi (Non aktif) demikian juga pemerintahan Kerajaan Barusjahe yang terakhir dipimpin oleh Sibayak Mandor Barus, putra dari Paraja Mantas Barus yang makamnya terletak di seberang jalan Kantor Camat Barusjahe. Sebagai daerah bekas kerajaan, maka di sekitar kesain Desa Barusjahe bertebaran makam para Raja (Sibayak) tersebut dan sampai sekarang masih dirawat rapi oleh anak keturunannya dan sering dikunjungi oleh wisatawan mancanegara.

Desa ini juga termasuk salah satu dari 5 desa sibayak yang ada di Kabupaten Karo. Perintis/pendiri awal Desa Barusjahe adalah Merga Barus. Dulunya warga Desa Barusjahe tinggal di rumah-rumah adat yang memiliki kamar 8 sampai dengan 12. Pada tahun 1926 jumlah rumah adat sebanyak 26 buah. Jumlahnya turun drastis pada saat penyerbuan penjajah Belanda pada tahun 1949. Kegiatan generasi muda bangsa untuk terlibat dalam pembangunan nasional merupakan keinginan yang ingin diwujudkan oleh Karang Taruna Desa Barusjahe. Karang Taruna Desa Barusjahe pada saat ini dipimpin oleh Mail Barus. Di bawah kepemimpinannya yang solid citra positif karang taruna telah terangkat.

Kecamatan Barusjahe beribukotakan Desa Barusjahe. Kecamatan Barusjahe menaungi 20 desa, yaitu ;
  1. Barusjahe,
  2. Tigajumpa,
  3. Sukajulu,
  4. Paribun,
  5. Serdang,
  6. Penampen,
  7. Gurisen,
  8. Siberteng,
  9. Tanjung Barus,
  10. Barusjulu,
  11. Rumahrih,
  12. Ujung Bandar,
  13. Sukanalu,
  14. Rumamis,
  15. Sinaman,
  16. Bulanjahe,
  17. Bulanjulu,
  18. Semangat,
  19. Talimbaru, dan
  20. Tangkidik.
Kepala pemerintahan wilayah Kecamatan Barusjahe dari waktu ke waktu ;
1. Radu Barus ( 1902 - 1930 )
2. Sibayak Parajamantas ( 1930 - 1930 )
3. Raja Nggarang Barus ( 1939 - 1945 )
4. Sibayak Mandor Barus ( 1945 - 1947 )
5. Raja Kumi Barus ( 1947 - 1948 )
6. Matang Sitepu ( 1948 - 1950 )
7. Dakut Sitepu ( 1950 - 1953 )
8. Babo Sitepu ( 1953 - 1958 )
9. Merih Sinulingga ( 1953 - 1960 )
10. Pudun Sitepu ( 1960 - 1962 )
11. Aladin Jasan Lubis ( 1962 - 1964 )
12. Ngaloi Keliat ( 1964 - 1966 )
13. Gugungen Bangun ( 1966 - 1969 )
14. Relek Tarigan, BA ( 1969 - 1974 )
15. Saman Sembiring ( 1974 - 1975 )
16. Ngadep Tarigan, BA ( 1975 - 1979 )
17. Gading Surbakti, BA ( 1979 - 1981 )
18. Nunggu Tarigan ( 1981 - 1985 )
19. Drs. Malem Pagi Sitepu ( 1985 - 1989 )
20. Drs. Rochman Refaya Barus ( 1989 s/d 12-3-1991 )
21. Drs. Swingli Sitepu ( 12-3-1991 s/d 31-10-1995 )
22. Surya Perangin Angin, SH ( 31-10-1995 s/d 23-4-1998 )
23. Drs. Sinarta Jaya Sembiring ( 23-4-1998 s/d - 08-2001 )
24. Drs. Kampung Sitepu ( 08-2001 s/d 30-09-2005 )
25. Drs. Mangat Ginting ( 30-09-2005 s/d 2005 )
26. Drs. Iskandar Z Tarigan, Msi ( 2005 � 2009 )
27. Caprilus Barus, S.Sos ( 2009 - Sekarang )

quarta-feira, 2 de fevereiro de 2011

Sejarah Kecamatan Tiga Binanga



Sejarah Kecamatan Tiga Binanga

Wilayah Kecamatan Tiga Binanga luasnya 16.038 Ha terdiri dari 18 desa atau kelurahan.
Perubahan Desa Tiga Binanga menjadi Kelurahan Tiga Binanga terjadi pada tahun 1999 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Adapun batas-batas Kelurahan Tiga Binanga secara administratif adalah :
  1. Sebelah Utara berbatas dengan Uruk Biru;
  2. Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Gunung;
  3. Sebelah Timur berbatas dengan Desa Kuala;
  4. Sebelah Barat berbatas dengan Desa Kuta Galuh.
Kelurahan (dahulu desa) Tiga Binanga didirikan oleh Marga Sebayang dari Desa Kuala sebagai marga tanah beserta dengan anak berunya Marga Sembiring Brahmana, Ginting Tampune dan Karo-Karo Sinulingga sebagai anak beru tanah dan kalimbubunya Marga Sembiring Meliala sebagai kalimbubu tanah. Tidak ada seorangpun yang tahu persis tahun berapa desa Tiga Binanga mulai berdiri, namun diperkirakan adalah pada awal abad ke-20. Dari hasil wawancara dengan seorang yang mengetahui sejarah berdirinya desa Tiga Binanga yaitu Endamalem br Sebayang dan saat ini sudah berumur kurang lebih 90 tahun diperoleh keterangan sebagai berikut di bawah ini.

Dulunya areal desa Tiga Binanga adalah merupakan tanah perladangan milik Marga Sebayang dari Desa Kuala. Pada waktu itu pekan yang terdekat dengan tanah perladangan ini dan desa di sekitarnya adalah desa Tiga Beringen, dimana persimpangan menuju desa Tiga Beringen dari jalan besar Kabanjahe-Kotacane berada di tanah perladangan Marga Sebayang (desa Tiga Binanga sekarang).

Di persimpangan menuju desa Tiga Beringen tersebut tumbuh satu pohon besar yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama "Batang Buah" dan tidak jauh dari Batang Buah itu terdapat sebuah lubuk besar yang merupakan pertemuan dari dua sungai yaitu Lau Namo Ratah dan Lau Bengap yang sering dikunjungi oleh orang-orang yang ingin beristirahat di pinggir lubuk itu.

Tidak jarang di bawah Batang Buah tersebut bertemu pedagang dan pembeli secara tidak sengaja karena sama-sama beristirahat sehingga terkadang terjadilah transaksi. Mula-mula baru sedikit, kemudian semakin banyak dan bahkan ada diantara pedagang dan pembeli yang tidak lagi melanjutkan perjalanannya ke Pekan Desa Tiga Beringen tetapi kemudian menjajakan dagangannya di bawah Batang Buah dan kemudian diikuti oleh pedagang lainnya sehingga suasana dibawah Batang Buah tersebut benar-benar telah berubah menjadi pekan yang baru.

Melihat perkembangan ini Marga Sebayang sebagai pemilik tanah perladangan itu mengambil inisiatif mendirikan kios-kios kecil untuk disewakan kepada para pedagang di hari pekan. Oleh karena keadaannya semakin ramai, maka Marga Sebayang ini akhirnya mendirikan rumah yang diikuti oleh anak beru dan kalimbubunya, serta orang-orang lainnya dengan izin dari Marga Sebayang. Jadi, di sekitar Batang Buah itu akhirnya berdirilah sebuah desa yang diberi nama Tiga Binanga.

Gambar: desa Gunung, Tiga Binanga


Source : silima-merga.blog

Kerajaan di Tanah Karo



Kerajaan di Tanah Karo

Berdasarkan sejarah perkembangannya, sebelum adanya kerajaan-kerajaan di Tanah Karo, masyarakatnya hanya terdiri dari bangsa tanah yang menumpang dan datang dari luar. Pada waktu itu pimpinan diangkat dari marga tanah dibantu oleh senina dan anak berunya yang lama kelamaan medirikan suatu kesain dan pimpinannya tetap berasal dari keluarga bangsa tanah itu. Beberapa kesain tersebut mengadakan perserikatan yang disebut urung dengan pimpinannya yang disebut Bapa Urung. Dengan terbentuknya kepemimpinan dalam satu urung maka semakin menonjollah keinginan berkuasa untuk menjaga prestise sehingga akhirnya terjadi perselisihan antara urung yang satu dengan urung yang lain.

Sekitar 1607-1636 Aceh dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda mengadakan penyebaran agama islam ke tanah Karo. Melihat adanya perselisihan antara urung-urung yang terdapat di tanah Karo maka utusan Raja Aceh yang disebut Tuan Kita meresmikan 4 (empat) kerajaan adat yang disebut Sibayak yang diperintah oleh empat orang raja yang mempunyai luas daerah yang berbeda-beda yaitu :

1. Kerajaan Lingga terdiri dari enam urung, yaitu :
a. Urung XII Kuta yang berkedudukan di Kabanjahe
b. Urung III Kuru yang berkedudukan di Lingga
c. Urung Naman yang berkedudukan di Naman
d. Urung Tigapancur yang berkedudukan di Tigapancur
e. Urung Teran yang berkedudukan di Batukarang
f. Urung Tiganderket yang berkedudukan di Tiganderket


2. Kerajaan Barusjahe yang terdiri dari dua urung, yaitu :
a. Urung si VII yang berkedudukan di Barusjahe
b. Urung si VI yang berkedudukan di Sukanalu


3. Kerajaaan Suka yang terdiri dari empat urung, yaitu :
a. Urung Suka yang berkedudukan di Suka
b. Urung Sukapiring yang berkedudukan di Seberaya
c. Urung Ajinembah yang berkedudukan di Ajinembah
d. Urung Tongging yang berkedudukan di Tongging


4. Kerajaan Sarinembah yang terdiri dari empat urung, yaitu :
a. Urung XVII Kuta yang berkedudukan di Sarinembah
b. Urung Perbesi yang berkedudukan di Perbesi
c. Urung Juhar yang berkedudukan di Juhar
d. Urung Kutabangun yang berkedudukan di Kutabangun


5. Kerajaan Kutabuluh yang terdiri dari dua urung, yaitu :
a. Urung Namohaji yang berkedudukan di Kutabuluh
b. Urung Langmelas yang berkedudukan di Mardingding

Sedangkan Kerajaan Kutabuluh diresmikan oleh Pemerintah Belanda yang pada tahun 1890 Belanda masuk ke Tanah Karo dengan tujuan berdagang sekaligusmelancarkan politik devide et impera yang membuat perselisihan antar urung terjadi kembali disusul dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942 yang semakin menambah penderitaan rakyat.

Source : silima-merga.blog

terça-feira, 1 de fevereiro de 2011

Pengertian Rakut Sitelu



Rakut Sitelu adalah sebagai perwujudan lebih lanjut dari adanya Merga Silima sehingga masyarakat Karo membagi diri atas tiga kelompok menurut fungsinya didalam hubungan kekeluargaan yang terdiri dari :
1. Senina, adalah orang-orang yang satu kata dalam musyawarah adat yang terdiri dari :

a. Yang langsung ke Sukut ;
? Sembuyak adalah orang-orang yang bersaudara (satu ayah, ibu), satu kakek atau satu buyut.
? Senina Sikaku Ranan/Gamet adalah orang-orang yang mempunyai marga sama tapi klannya berbeda dan tugasnya sebagai juru bicara dalam musyawarah adat.

b. Yang berperantara ke Sukut ;
? Sepemeren, adalah orang-orang yang bersaudara karena ibu mereka bersaudara atau beru ibu mereka sama.
? Separibanen, adalah orang-orang yang bersaudara karena istri mereka bersaudara atau beru istri mereka sama.
? Sepengalon, adalah persaudaraan yang timbul karena anak perempuan kawin dengan pria yang saudaranya mengambil istri dari marga tersebut atau karena anak perempuan kita kawin dengan marga tertentu sehingga kalimbubu anak perempuan kita menjadi sepengalon dengan kita.
? Sendalanen, adalah persaudaraan yang timbul karena seorang laki-laki mengawini sepupu dekat (impal) kita.


2. Anak Beru, berarti anak perempuan atau kelompok yang mengambil istri dari keluarga/marga tertentu, yang secara umum dapat dibagi atas 2 kelompok yaitu :

a) Anak Beru Langsung yang terdiri dari :
? Anak Beru Angkip / Ampu, yaitu menantu atau suami dari anak yang baru untuk pertama sekali keluarganya kawin dengan keluarga kita.
? Anak Beru Dareh / Anak Beru Ipupus, adalah anak dari bibi atau anak dari saudari kita atau yang lahir dari ibu yang berunya adalah dari marga kita.
? Anak Beru Cekoh Baka, adalah anak beru yang telah kawin dengan keluarga tertentu dua kali berturut-turut, misalnya anak beru dareh atau ipupus yang mengawini impal (sepupunya) maka ia menjadi anak beru cekoh baka.
? Anak Beru Cekoh Baka Tutup, adalah orang (keluarga atau marga) tertentu yang telah tiga kali berturut-turut mengawini perempuan(beru) dari keluarga atau marga tertentu misalnya Anak Beru Cekoh Baka mengawini impalnya maka ia menjadi Anak Berun Cekoh Baka tutup.
? Anak Beru Tua yang terbagi atas tiga macam yaitu :
i. Anak Beru Tua Jabu, adalah orang/keluarga tertentu yang telah empat kali berturut-turut mengawini perempuan(beru) dari keluarga tertentu. Atau apabila Anak Beru Cekoh Baka Tutup mengawini impalnya, maka ia menjadi Anak Beru Tua Jabu.
ii. Anak Beru Tua Kesain, adalah anak beru yang ikut mendirikan sesuatu kesain tertentu.
iii. Anak Beru Tua Kuta, adalah anak beru yang ikut mendirikan kuta.

b) Anak Beru Berperantara adalah anak beru yang tidak langsung berhubungan keluarga kepada sukut, tetapi berperantara keluarga (orang) tertentu. Anak beru yang demikian terdiri dari :
? Anak Beru Sepemeren, yaitu anak beru dari sepemerenta, umpamanya di limang Marga Perangin-angin sepemeren dengan Marga Ketaren. Oleh karena itu anak beru dari Marga Perangin-angin menjadi anak beru sepemeren dengan Marga Ketaren, demikian juga sebaliknya.
? Anak Beru Menteri, adalah anak beru dari anak beru, dalam upacara perkawinan dia menerima hutang adat berupa simajek lape-lape.
? Anak Beru Ngikuri, adalah anak beru dari anak beru menteri. Dalam upacara perkawinan anak beru menerima hutang adat dari yang kawin berupa perkembaren (erdemu bayu), perseninan (petuturken) atau sabe dalam hal perkawinan diawali dengan membawa perempuan ke rumah pihak laki-laki, yang dalam bahasa Karo disebut nangkih dan sirembah kulau (orang julu). Demikian juga anak beru dari orang tua perempuan menerima ikor-ikor (bagian daging sapi yang melekat pada bagian ekornya).


3. Kalimbubu, adalah kelompok pemberi dara bagi keluarga(marga) tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari sering juga disebut Dibata Ni Idah(Tuhan yang kelihatan), karena kedudukannya yang sangat dihormati. Kalimbubu dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu :
A. Kalimbubu yang langsung ke sukut, yaitu :
? Kalimbubu Iperdemui atau Kalimbubu Sierkimbang, adalah orang tua/saudara dari istri orang/keluarga/marga tertentu, atau biasa juga disebut Kalimbubu Simaba Ose (pakaian adat) bagi anak dan kela (menantunya) pada pesta-pesta tertentu (pesta agung).
? Kalimbubu Simada Dareh (bere-bere), adalah orang tua (bapa) atau turang (saudara) ibu uang dalam prakteknya dapat berganti nama sebanyak lima kali sesuai dengan keadaan, yaitu :
I. Kalimbubu Singalo-ulu Mas, adalah bere-bere (keponakan)nya yang laki-laki kawin maka ia disebut Kalimbubu Singalo Ulu Mas.
II. Kalimbubu Singalo Bere-bere, adalah apabila bere-berenya yang perempuan kawin maka ia disebut Kalimbubu Singalo Bere-bere.
III. Kalimbubu Singalo Maneh-maneh, yaitu apabila anak beru dareh(ipupus) meninggal dunia cawir metua (umur sudah lanjut dan anak-anak sudah berumah tangga semua) maka ia menerima hutang adat berupa maneh-maneh. Apabila yang meninggal itu anak beru menteri (yang perempuan/turang anak beru dareh), maka maneh-maneh kepada kalimbubu singalo perkempun berupa kain adat kelam-kelam.
IV. Kalimbubu Singalo Morah-morah, yaitu apabila anak beru dareh meninggal dunia, umur belum lanjut, anak belum berkeluarga semua maka ia menerima hutang adat bernama morah-morah. Apabila yang meninggal itu anak beru menteri(turang dari anak beru dareh), maka ia juga menerima morah-morah untuk puang kalimbubu.
V. Kalimbubu Singalo Sapu Iloh, yaitu apabila anak beru dareh meninggal dalam usia muda, belum berkeluarga, maka hutang adatnya bernama sapu iloh. Apabila yang meninggal itu anak beru menteri (turang anak beru dareh) dia juga menerima sapu iloh untuk puang kalimbubu.
? Kalimbubu Bapa (Binuang), adalah kalimbubu dari ayah, yang dapat beberapa kali berganti nama sesuai fungsinya, seperti :
I. Kalimbubu Simajek Diliken, yaitu apabila anak berunya (yang binuangnya) adalah dia memasuki rumah baru maka, dia disebut kalimbubu simajek diliken (memasang tungku).
II. Kalimbubu Singalo Perninin, yaitu apabila anak beru menteri (anak perempuan dari bere-berenya si dilaki) kawin, maka ia menerima perninin makan disebut kalimbubu singalo perninin. Hutang adat perninin ini hanya ada di beberapa daerah karo, seperti Urung Julu, dan Lau Cih (Deli serdang) serta Langkat. Di daerah Langkat disebut kalimbubu singalo perkempun.
III. Kalimbubu Singalo Ciken-ciken, yaitu apabila anak beru menteri (laki-laki), yakni anak dari bere-berenya yang perempuan meninggal dunia, maka ia menerima hutang adat bernama ciken-ciken dan disebut kalimbubu singalo ciken-ciken.
IV. Kalimbubu Nini (Kampah) atau Kalimbubu Bena-bena, yaitu kalimbubu dari kakek (ayah dari ayah) menurut tutur ia menjadi kampah.
? Kalimbubu Tua, dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
I. Kalimbubu Tua Jabu, yaitu kalimbubu yang secara terus menerus memberi dara mulai dari empong ni empong, kepada empong, kepada nini (kakek) pada ayah (bapa) maka ia disebut kalimbubu tua jabu.
II. Kalimbubu Tua Kesain, yaitu kelompok orang dari marga tertentu yang diangkat menjadi kalimbubu ketika mendirikan suatu kesain tertentu.
III. Kalimbubu Tua Kuta (Simajek Lulang) atau Kalimbubu Taneh, yaitu kelompok orang atau marga tertentu yang diangkat sebagai kalimbubu.

B. Kalimbubu berperantara ke sukut yang terdiri dari :
? Puang Kalimbubu (Perkempun), adalah kalimbubu dari kalimbubu dan ada beberapa kali berganti nama sesuai fungsinya, apabila anak beru menteri (turang dari anak beru dareh) meninggal dunia dia menerima morah-morah dan disebut kalimbubu singalo morah-morah, daerah Langkat (Karo Jahe).
? Kalimbubu Singalo Maneh-maneh Perkempun, apabila yang meninggal adalah anak beru menteri yang laki-laki (anak dari bere-bere) maka di Karo Gugung ia menerima hutang adat dapat berupa maneh-maneh, morah-morah, sapu iloh untuk puang kalimbubu.
? Kalimbubu Singalo Perkempun atau Kalimbubu Singalo Perninin, yaitu apabila anak perempuan dari anak beru menterinya kawin, maka ia menerima hutang adat bernama perkempun dan disebut kalimbubu singalo perkempun.
? Puang Ni Puang (Soler), adalah Kalimbubu dari puang kalimbubu yang dalam tutur menjadi soler.
? Kalimbubu Sepemeren, adalah sepemeren dari mama atau turang sepemeren dari ibu yang melahirkan kita.


Fungsi masing-masing unsur Rakut Sitelu pada masyarakat Karo dapat disamakan dengan fungsi trias politiqa (pemisahan kekuasaan pada tiga badan), seperti digambarkan oleh Montesqieu dalam bukunya L'spirit des loi, yaitu :
1) Kekuasaan eksekutif (kekuasaan pemerintahan).
2) Kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang-undang).
3) Kekuasaan yudikatif (kekuasaan peradilan).

Demikian juga pada rakut sitelu adalah merupakan pembagian kekuasaan dan tugas serta wewenang sebagai berikut :
1) Senina/sembuyak, sebagai kekuasaan eksekutif.
2) Kalimbubu, sebagai legislatif.
3) Anak Beru, sebagai yudikatif.

Adapun fungsi masing-masing unsur tersebut adalah sebagai berikut :
1) Senina, sebagai penyedia sarana yang dibutuhkan anak beru.
2) Kalimbubu, sebagai supremasi keadilan dan kehormatan.
3) Anak Beru, sebagai pelaksana tugas.

Tugas dan kewajiban dari Rakut Sitelu :
1) Senina, yaitu :
? Mengawasi pelaksanaan tugas anak beru
? Secara bersama-sama menanggung biaya pesta

2) Kalimbubu, yaitu :
? Menyelesaikan perselisihan anak berunya
? Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga

3) Anak Beru, yaitu :
? Mengatur jalannya pembicaraan musyawarah adat.
? Menyiapkan makanan dan minuman di pesta.
? Menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan.
? Menanggung biaya sementara apabila belum cukup.
? Menanggung aib kalimbubunya & harus menerimanya dengan rela seperti terjadi apabila puteri kalimbubu mendapat aib dan tidak ada yang bertanggung jawab atasnya.
? Mengawasi segala harta milik kalimbubunya.
? Mengatur pertemuan keluarga.

Hak Rakut Sitelu :
1) Senina, yaitu :
? Mendapat pembagian harta.
? Dalam hal anak wanita kawin berhak mendapat mas kawin.

2) Kalimbubu, yaitu :
? Berhak mendapat segala kehormatan dari anak berunya.
? Dapat memaksakan kehendaknya kepada anak berunya.

3) Anak Beru, yaitu :
? Berhak mengawini puteri-puteri kalimbubunya, Dalam hal ini kalimbubu tidak dapat menolaknya terlepas apakah kalimbubu setuju atau tidak.
? Dalam pembagian warisan kalimbubunya yang meninggal dunia, anak beru berhak mendapat maneh-maneh atau morah-morah, berupa alat-alat bekerja, seperti parang, pisau dan lain-lain.
? Dalam pembagian maneh-maneh atau morah-morah biasanya diberikan baju almarhum yang sering dipakainya sebagai kenang-kenangan.


Source : silima-merga.blog

Recent Post