Latest News

segunda-feira, 31 de janeiro de 2011

Perkawinan Semarga pada Marga Sembiring



Menurut dari hasil wawancara dengan para responden dapat diketahui bahwa perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo sudah dapat dilakukan sejak dulu, namun tidak ada yang dapat memberikan keterangan yang pasti tahun berapakah perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo pertama kali terjadi. Bahkan tidak jarang dari beberapa responden tidak mengetahui alasan yang menyebabkan perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo boleh dilakukan.

Dari hasil dari wawancara dengan Raja Metehsa Sebayang, salah satu pengetua adat menyatakan bahwa perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan keturunan dalam klan Sembiring. Dimulai dengan masuknya bangsa India Tamil yang lebih dikenal dengan nama India Belakang dengan tujuan berdagang ke Tanah Karo. Orang-orang India Belakang mempunyai kulit berwarna hitam sehingga dipanggil oleh masyarakat Karo setempat dengan si mbiring yang artinya si hitam sedangkan marga Sembiring sendiri memang telah ada.

Panggilan si mbiring tersebut lama kelamaan melekat terhadap orang India Belakang yang telah menetap lama di wilayah Karo dan kemudian menjadi marga mereka. Dengan demikian, orang India Belakang akhirnya diangkat menjadi saudara bagi marga Sembiring asli yang berasal dari Bangko, Jambi sehingga konsekwensinya adalah harus mengikuti segala aturan yang ada pada adat Karo.

Masalah timbul pada perkawinan disebabkan kondisi orang India Belakang yang hitam, jelek, dan pesek maka orang Karo asli jarang bahkan kadang tidak ada yang mau kawin dengan mereka sehingga setelah diadakan musyawarah antara orang India Belakang yang telah bermarga Sembiring dengan pengetua adat akhirnya diperbolehkan terjadi kawin mengawini antara mereka.

Marga Sembiring yang ada pada masyarakat Karo secara umum membagi diri atas dua kelompok, yaitu :
A. Si man Biang (yang memakan anjing) terdiri dari :
  1. Sembiring Kembaren, (asal usul marga ini dari Kuala Ayer Batu, kemudian pindah ke Pagaruyung terus ke Bangko di Jambi dan selanjutnya ke Kutungkuhen di Alas. Nenek moyang mereka bernama Kenca Tampe Kuala berangkat bersama rakyatnya menaiki perahu dengan membawa pisau kerajaan bernama 'pisau bala bari'. Keturunannya kemudian mendirikan Kampung Silalahi, Paropo, Tumba dan Martogan yang menyebar ke Liang Melas, seperti Kuta Mbelin, Sampe Raya, Pola Tebu, Ujong Deleng, Negeri Jahe, Gunong Meriah, Longlong, Tanjong Merahe, Rih Tengah, dan lain-lain. Marga ini juga tersebar luas di Kabupaten Langkat seperti Lau Damak, Batu Erjong-jong, Sapo Padang, Sijagat dan lain-lain).
  2. Sembiring Keloko, (menurut cerita, Sembiring Keloko masih satu keturunan dengan Sembiring Kembaren. Marga Sembiring Keloko tinggal di Rumah Tualang sebuah desa yang sudah ditinggalkan antara Pola Tebu dengan Sampe Raya. Marga ini sekarang terbanyak tinggal di Pergendangen, beberapa keluarga di Buah Raya dan Limang).
  3. Sembiring Sinulaki, (sejarah Marga Sembiring Sinulaki dikatakan juga sama dengan sejarah Sembiring Kembaren karena mereka masih dalam satu rumpun. Marga Sinulaki berasal dari Silalahi).
  4. Sembiring Sinupayung, marga ini menurut cerita bersaudara dengan Sembiring Kembaren. Mereka ini tinggal di Juma Raja dan Negeri).
B. Si la man Biang (yang tidak memakan anjing) atau Sembiring Singombak terdiri dari :
  1. Sembiring Brahmana
    Menurut cerita lisan Karo, nenek moyang merga Brahmana ini adalah seorang keturunan India yang bernama Megitdan pertama kali tinggal di Talu Kaban. Anak-anak dari Megit adalah, Mecu Brahmana yang keturunannya menyebar ke Ulan Julu, Namo Cekala, dan kaban Jahe. Mbulan Brahmana menjadi cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tandok Kabanjahe yang keturunannya kemudian pindah ke Guru Kinayan dan keturunannya mejadi Sembiring Guru Kinayan. Di desa Guru Kinayan ini merga Brahmana memperoleh banyak kembali keturunan. Dari Guru Kinayan, sebagian keturunananya kemudian pindah ke Perbesi dan dari Perbesi kemudian pindah ke Limang.
  2. Sembiring Guru Kinayan
    Sembiring Guru Kinayan terjadi di Guru Kinayan, yakni ketika salah seorang keturunan dari Mbulan Brahmana menemukan pokok bambo bertulis (Buloh Kanayan Ersurat). Daun bambo itu bertuliskan aksara Karo yang berisi obat-obatan. Di kampung itu menurut cerita dia mengajar ilmu silat (Mayan) dan dari situlah asal kata Guru Kinayan (Guru Ermayan). Keturunannya kemudian menjadi Sembiring Guru Kinayan.
  3. Sembiring Colia
    Merga Sembiring Colia, juga menurut sejarah berasal dari India, yakni kerajaan Cola di India. Mereka mendirikan kampung Kubu Colia.
  4. Sembiring Muham
    Merga ini juga dikatakan sejarah, berasal dari India, dalam banyak praktek kehidupan sehari-hari merga ini sembuyak dengan Sembiring Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia, dan Sembiring Pandia. Mereka inilah yang disebut Sembiring Lima Bersaudara dan itulah asal kata nama kampung Limang. Menurut ahli sejarah Karo. Pogo Muham, nama Muham ini lahir, ketika diadakan Pekewaluh di Seberaya karena perahunya selalu bergempet (Muham).
  5. Sembiring Pandia
    Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa merga Sembiring Pandia, juga berasal dari kerajaan Pandia di India. Dewasa ini mereka umumnya tinggal di Payung.
  6. Sembiring Keling
    Menurut cerita lisan Karo mengatakan, bahwa Sembiring Keling telah menipu Raja Aceh dengan mempersembahkan seekor Gajah Putih. Untuk itu Sembiring Keling telah mencat seekor kerbau dengan tepung beras. Akan tetapi naas, hujan turun dan lunturlah tepung beras itu, karenanya terpaksalah Sembiring Keling bersembunyi dan melarikan diri. Sembiring Keling sekarang ada di Raja Berneh dan Juhar.
  7. Sembiring Depari
    Sembiring Depari menurut cerita menyebar dari Seberaya, Perbesi sampai ke Bekacan (Langkat). Mereka ini masuk Sembiring Singombak, di daerah Kabupaen Karo nama kecil (Gelar Rurun) anak laki-laki disebut Kancan, yang perempuan disebut Tajak. Sembiring Depari kemudian pecah menjadi Sembiring Busok. Sembiring Busok ini terjadi baru tiga generasi yang lalu. Sembiring Busok terdapat di Lau Perimbon dan Bekancan.
  8. Sembiring Bunuaji
    Merga ini terdapat di Kuta Tengah dan Beganding.
  9. Sembiring Milala
    Sembiring Milala, juga menurut sejarah berasal dari India, mereka masuk ke Sumatera Utara melalui Pantai Timur di dekat Teluk Haru. Di Kabupaten Karo penyebarannya dimulai dari Beras Tepu. Nenek moyang mereka bernama Pagit pindah ke Sari Nembah. Merka umumnya tinggal di kampung-kampung Sari Nembah, Raja Berneh, Kidupen, Munte, Naman dan lain-lain. Pecahan dari merga ini adalah Sembiring Pande Bayang.
  10. Sembiring Pelawi
    Menurut cerita Sembiring Pelawi diduga berasa dari India (Palawa). Pusat kekuasaan merga Pelawi di wilayah Karo dahulu di Bekancan. Di Bekancan terdapat seorang Raja, yaitu Sierkilep Ngalehi, menurut cerita, daerahnya sampai ke tepi laut di Berandan, seperti Titi Pelawi dan Lau Pelawi. Di masa penjajahan Belanda daerah Bekancan ini masuk wilayah Pengulu Bale Nambiki. Kampung-kampung merga Sembiring Pelawi adalah : Ajijahe, Kandibata, Perbesi, Perbaji, Bekancan dan lain-lain.
  11. Sembiring Sinukapor
    Sejarah merga ini belum diketahui secara pasti, mereka tinggal di Pertumbuken, Sidikalang, dan Sarintonu.
  12. Sembiring Tekang
    Sembiring Tekang dianggap dekat/bersaudara dengan Sembiring Milala. Di Buah Raya, Sembiring Tekang ini juga menyebut dirinya Sembiring Milala. Kedekatan kedua merga ini juga terlihat dari nama Rurun anak-anak mereka. Rurun untuk merga Milala adalah Jemput (laki-laki di Sari Nembah) / Sukat (laki-laki di Beras Tepu) dan Tekang (wanita). Sementara Rurun Sembiring Tekang adalah Jambe (laki-laki) dan Gadong (perempuan). Kuta pantekennya adalah Kaban, merga ini tidak boleh kawin-mengawin dengan merga Sinulingga, dengan alasan ada perjanjian, karena anak merga Tekang diangkat anak oleh merga Sinulingga.
Adanya perbedaan antara Sembiring Siman Biang dengan Sembiring Si La Man Biang sebenarnya menurut Jaman Tarigan, seorang pengetua adat adalah merupakan kelanjutan kisah dari pelarian Sembiring Keling setelah menipu Raja Aceh yaitu dengan mempersembahkan seekor gajah putih padahal sesungguhnya adalah seekor kerbau yang dicat dengan tepung beras. Namun, pada saat mempersembahkannya hujan turun sehingga tepung beras yang melumuri kerbau tersebut luntur sehingga ia harus melarikan diri.

Dalam pelariannya ia menemukan jalan buntu dan satu-satunya jalan hanya menyeberangi sungai. Sembiring Keling tersebut tidak dapat berenang sehingga ia bersumpah siapapun yang dapat menolongnya akan diberi imbalan yang sesuai. Ternyata ada seekor anjing yang menolongnya sehingga ia selamat sampai ke seberang dan dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan Raja Aceh. Setelah diselamatkan oleh anjing ia akhirnya bersumpah bahwa ia, saudara-saudara dan keturunannya tidak akan memakan anjing sampai kapanpun.

Akibat dari sumpahnya akhirnya semua Marga Sembiring yang berasal dari India Belakang beserta keturunannya ikut menanggung akibatnya sampai saat ini, yaitu apabila ada keturunan Sembiring Simantangken Biang yang memakan anjing maka akan mengalami gatal-gatal di tubuhnya.

Source : silima-merga.blog

domingo, 23 de janeiro de 2011

Sangkep Enggeloh

Untuk memahami ada istiadat Karo kita harus terlebih dahulu memahami tentang Sangkep Nggeloh pada Merga Silima (Lima Marga), karena dalam setiap pelaksanaan adat istiadat yang berperan adalah Sangkep Nggeloh.

Sangkep Enggeloh adalah suatu system kekeluargaan pada masyarakat Karo yang secara garis besar terdiri dari Kalimbubu, Senina, dan Anak Beru (Tribal Collibium). Kalimbubu dari Kalimbubu oleh Anak Beru disebut Puang Kalimbubu dan sebaliknya Puang Kalimbubu memanggil Anak Beru dari Anak Berunya adalah Anak Beru Mentri. Perkawinan dalam adat Karo berlangsung antara anak laki-laki dari Anak Beru dengan anak gadis/perempuan dari Kalimbubu.

Dalam tutor Kalimbubu ini adalah pihak yang sangat dihormati dan secara kebiasaan disebut sebagai Dibata Ni Idah (Tuhan yang kelihatan). Adalah suatu aib bagi seseorang yang berani membantah Kalimbubu, karena hal tersebut tabu bagi masyarakat Karo. Anak Beru wajib menjaga harkat dan martabat Kalimbubu.

Begitu tingginya penghargaan seorang Anak Beru terhadap Kalimbubunya sehingga bilamana ada aib yang menimpa anak gadis Kalimbubu misalnya ; hamil tanpa ada yang bertanggung jawab maka pihak Anak Beru harus mau mengawini anak gadis tersebut.

Perkawinan dalam adat Karo dilakukan dengan sistem berputar halmana menyebabkan setiap orang akan berkedudukan atau berfungsi sebagai Anak Beru, Sembuyak, Kalimbubu, Puang Kalimbubu, dan Anak Beru Menteri. Tegasnya setiap orang/marga dari orang Karo pasti pernah menjabat sebagai Kalimbubu tanpa terkecuali. Oleh karena itu maka setiap orang Karo pernah mendapat predikat �Dibata Ni Idah�. Didalam acara menari adat dalam pesta perkawinan dan upacara kematian misalnya Anak Beru harus membungkuk menghormati Kalimbubu tersebut.

Proses Perkawinan


Proses Perkawinan

Perkawinan dalam adat Karo menganut sistem exogami yakni hanya bisa dilakukan antara seorang pria dan wanita yang tidak semarga (segaris keturunan) dan perkawinan tersebut bersifat religius, namun ada pengecualian pada marga Perangin-angin dan Sembiring.

Sifat religius dari perkawinan masyarakat Karo terlihat dengan adanya perkawinan tersebut bukan saja hanya mengikat kedua belah pihak yang melakukan perkawinan itu, tetapi juga mengikat seluruh keluarga mempelai laki-laki dan mempelai perempuan termasuk arwah-arwah leluhur mereka.

Dengan demikian maka perkawinan adalah menetapkan ikatan lahir batin antara suami istri dan seluruh keluarga dan arwah-arwah para leluhur mereka.
Oleh karena hal diatas maka proses perkawinan juga melibatkan sanak saudara kedua belah pihak yang sudah terbagi menurut tutur yakni sembuyak, kalimbubu dan anak beru yang dalam sistem kekerabatan Karo sudah ditentukan fungsinya masing-masing.

Bila seorang pria saling mencintai dengan seorang wanita dan keduanya bersepakat untuk melangsungkan ke jenjang perkawinan maka harus melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
  1. Maba Belo Selambar
  2. Nganting Manok
  3. Mukul

Maba Belo Selambar



Maba Belo Selambar

Acara Maba Belo Selambar, adalah suatu upacara untuk meminang seorang gadis menurut adapt Karo yang bertujuan untuk menanyakan kesediaan si gadis dan orangtuanya beserta seluruh sanak saudara terdekat yang sudah ada peranannya masing-masing menurut adat Karo.

Dalam acara ini pihak keluarga pria mendatangi keluarga perempuan dan untuk sarana Maba Belo Selambar tersebut pihak pria membawa:
  1. Kampil Pengarihi / Kampil Pengorati
  2. Penindih Pudun, Uis Arinteneng, Pudun dan Penindiken Rp. 11.000,00 agar supaya acara menanyakan kesediaan si gadis dapat dimulai maka terlebih dahulu dijalankan Kampil Pengarihi / Kampil Pengorati kepada keluarga pihak perempuan yang artinya sebagai permohonan kepada pihak keluarga perempuan agar bersedia menerima maksud kedatangan pihak pria. Bilamana kedatangan pihak pria sudah dimengerti maksudnya dan pihak keluarga perempuan bersedia menerima pinangan tersebut maka dibuatlah pengikat janji (penindih pudun) berupa uang dan ditentukan kapan akan diadakan acara selanjutnya yaitu Nganting Manok. Pada waktu penyerahan uang penindih pudun tersebut uang dimaksud diletakan pada sebuah piring yang dilapisi dengan uis arinteneng (sejenis kain ulos )
Source : silima-merga.blog

sexta-feira, 21 de janeiro de 2011

Nganting Manok


Nganting Manok

Acara Nganting Manok, adalah merupakan musyawarah adat antara keluarga pengantin pria dan wanita guna membicarakan ganta tumba/unjuken ras mata kerja yang artinya adalah tentang masalah pesta dan pembayaran (uang mahar) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan.

Dalam adat masyarakat Karo didalam membuat atau merancang suatu pesta ada hak dan kewajiban dari pihak-pihak Kalimbubu (pihak perempuan) yang terdiri dari, Singalo bere-bere, Singalo perkempun, Singalo perbibin.
Pihak Kalimbubu berhak menerima tukor (uang mahar) dari pihak laki-laki yang kawin tersebut dan disamping itu berkewajiban pula membayar utang adat berupa kado (luah) kepada pengantin. Hak dari Kalimbubu tadi antara satu daerah/wilayah dengan wilayah yang lain bias berbeda jumlahnya tergantung kebiasaan setempat.

Kalau didaerah wilayah Singalor Lau (Tiga Binanga) yang harus diberikan kepada Kalimbubu Singalo Bere-Bere Rp. 86.000, Kalimbubu Singalo Perkempun Rp. 46.000, dan Kalimbubu Singalo Perbibin Rp. 24.000 . Tapi bilamana yang melakukan perkawinan tersebut dianggap keturunan ningrat (darah biru / Sibayak) dan berada (kaya) maka uang mahar diatas biasa ditambahi dengan jumlah tertentu sesuai kesepakatan.

Tetapi hal ini tidak terjadi patokan karena tidak ada keharusan membayarkan uang tersebut tetapi hal dimaksud hanya sekedar sebuah penghargaan (jile-jile) atau sebuah pernyataan kepada masyarakat bahwa yang kawin tersebut bukan orang sembarangan. Sesungguhnya uang mahar tadi masih ada yang berhak tetapi sesuai tujuan tulisan yang akan diulas hanyalah uang mahar yang menjadi hak dari Kalimbubu pihak perempuan tersebut. Disisi lain pihak Kalimbubu ini juga mempunyai kewajiban untuk membawa kado (luah).

Kado (luah) KALIMBUBU SINGALO BERE-BERE, berupa:
  • Lampu Menyala, maknanya adalah agar rumah tangga (jabu) yang baru dibentuk tersebut menjadi terang kepada sanak keluarga (kade-kade) pada khususnya dan terhadap semua orang pada umumnya.
  • Kudin Perdakanen ras Ukatna, maknanya adalah sebagai modal awal membangun rumah tangga baru tersebut dengan harapan agar kedua pengantin rajin bekerja mencari makan.
  • Pinggan Perpanganen, maknanya adalah agar kedua mempelai mendapat berkat dari Yang Maha Kuasa.
  • Beras Meciho (page situnggong tare mangkok dan naroh manok kemuliaan), maknanya adalah agar kedua mempelai tersebut selalu serasi dan mendapatkan kemuliaan.
  • Manok Asuhen (manok pinta-pinta), maknanya adalah agar keluarga yang baru tersebut diberi rezeki yang baik dan apapun yang dicita-citakan berhasil.
  • Amak Dabuhen (amak tayangen ras bantal), maknanya adalah agar keluarga baru tersebut dapat menikmati kebahagiaan.
Demikian juga SINGALO PERKEMPUN membawa kado (luah) berupa:
  • Satu buah amak (amak cur)
  • Satu buah bantal
  • Satu ekor ayam (manok asuhen)
  • Dua buah piring
Seterusnya SINGALO PERBIBIN akan memberikan kado (luah) berupa:
  • Selembar uis gara (perembah pertendin)
  • Selembar tikar kecil (amak cur)


Source : silima-merga.blog

quinta-feira, 20 de janeiro de 2011

Mukul (persada tendi)



Mukul (persada tendi)

Setelah acara pesta selesai diadakan, dilanjutkan dengan acara makan bersama (mukul) kedua pengantin yang dibarengi sanak keluarga terdekat. Acara ini diadakan dirumah kedua pengantin dan kalau rumahnya belum ada, diadakan dirumah orang tua pengantin laki-laki tetapi kalau didaerah Langkat acara mukul ini diadakan dirumah pengantin perempuan. Acara ini dilaksanakan sebagai upacara mukul atau persada tendi (mempersatukan roh) antara kedua suami istri baru tersebut. Untuk acara tersebut oleh Kalimbubu Singalo Bere-Bere disiapkan Manok Sangkep berikut sebutir telur ayam.

Untuk tempat makan disiapkan pinggan pasu beralaskan uis arinteneng diatas amak cur. Didaerah Langkat acara Mukul ini diawali dengan kedatangan kedua pengantin dan rombongan dari rumahnya menuju rumah orangtua pengantin perempuan dan sesampai dipintu rumah orangtua pengantin perempuan, kedua pengantin berhenti sejenak untuk ditepung tawari dengan ngamburken beras meciho kepada kedua pengantin. Hadirin lalu 'ralep-alep' dan 'ndehile' dan ketika nepung wari (njujungi beras) ini Kalimbubu memberi petuah atau berkat (pasu-pasu) : 'Enda amburi kami kam alu beras meciho, maka piher pe beras enda, piherenlah tendi ndu duana'. (ini kami hamburkan/tuangi kalian dengan beras putih bening, karena itu keras(kuat) pun beras ini lebih keras(kuat) Roh kalian berdua.

Setelah itu baru masuk kerumah dan dilanjutkan dengan acara suap-suapan antara kedua pengantin. Bibi pengantin kemudian memberi sekepal nasi kepada masing-masing pengantin dan si suami menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut istrinya, lalu diikuti si istri menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut suaminya. Sebelum makan biasanya makanan ayam dan telur sebutir untuk kedua pengantin tersebut diramal dulu maknanya oleh guru (dukun/paranormal) dan biasanya guru tersebut meramalkan masa depan kedua suami istri yang baru tersebut.

Bahwa didalam semua upacara adat Karo dalam proses melamar, membayar utang adat kepada Kalimbubu semua sarana-sarana kelengkapan adat seperti misalnya belo bujur diletakkan diatas uis arinteneng yang diletakan diatas piring dan amak cur. Belo bujur ini bermakna supaya diberkati Tuhan dan uis arinteneng tersebut bermakna supaya roh-roh menjadi tenang.

Melihat proses-proses perkawinan tersebut penuh dengan simbol-simbol yang bermakna kepercayaan maka benarlah hasil penelitian A. Van Gennep seorang Sosiolog bangsa Perancis yang mengatakan perkawinan pada masyarakat Karo adalah bersifat religius. Dan seperti apa yang dikutip oleh Darwan Prinst S.H, dalam bukunya adat Karo sifatnya religius dari perkawinan adat Karo dimaksud terlihat dengan adanya perkawinan maka perkawinan tersebut tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang hadir saja, tapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua-kedua belah pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka.

Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa upacara-upacara perkawinan masyarakat Karo bersifat religius atau merupakan sebuah rangkaian upacara-upacara agama yang penuh dengan simbol-simbol berbagai makna yang bersifat kepercayaan, dan pada saat itu nenek moyang masyarakat Karo beragama Pemena (penyembah berhala). Adat Karo sudah ada sejak dahulu kala atau setidak-tidaknya jauh sebelum Injil memasuki wilayah Karo.

Source : silima-merga.blog

quarta-feira, 19 de janeiro de 2011

Tebus Uban

Upacara Tebus Uban diadakan bagi orang yang sudah tua (uzur), dimana dalam upacara ini digabungkan dua acara adat yakni Ngembahken Nakan (mengantarkan makanan) dan pesta adat kematian (ndungi adat).

Dalam acara ini diawali dengan memberi makan kepada orang tua yang sudah uzur tersebut dan setelah selesai maka acara dilanjutkan dengan upacara kematian (gendang adat cawir metua).

Dalam acara ini pihak yang diadati tersebut membayar segala hutang-hutang adatnya kepada Kalimbubu sebagaimana adat kebiasaan terhadap orang yang sudah meninggal dunia.

Oleh karena itu sebenarnya orang yang diadati tersebut secara simbolis dianggap sudah meninggal walaupun pada kenyataannya ia masih hidup. Upacara Tebus Uban ini biasanya dilakukan orang tua yang kurang yakin akan kesanggupan anak-anaknya melakukan upacara adat ini secara benar. Karena itu ada kekhawatiran nanti setelah ia meninggal perjalanannya menuju sorga akan terhalang dan karena itulah maka selagi ia hidup upacara dilaksanakan agar ia dapat mengawasinya.

sexta-feira, 14 de janeiro de 2011

Mesur-Mesuri


Mesur-Mesuri

Maba Manok Mbor adalah suatu upacara 'nujuh bulan' bagi seorang wanita yang sedang hamil. Upacara adat ini bila dilakukan terhadap wanita yang mengandung anak pertama disebut dengan Mesur-Mesuri dan bilamana dilakukan untuk anak kedua dan seterusnya disebut Maba Manok Mbor atau Mecah-Mecah Tinaroh.

Tujuan dari upacara ini adalah untuk mempersiapkan si ibu secara psikis agar selamat dalam melahirkan bayinya. Maksudnya adalah barangkali ada tekanan-tekanan psikis selama ini yang dialami oleh calon ibu dalam rumah tangganya baik oleh suaminya, mertuanya dan keluarga dekat lainnya.

Bilamana hal ini ada maka diadakanlah penyelesaian terlebih dahulu secara adat kekeluargaan dalam arti saling maaf-memaafkan agar si calon ibu tersebut dalam melahirkan bayinya dalam keadaan sehat sejahtera dan selamat.
Peralatan-peralatan yang diperlukan dalam upacara tersebut adalah:
  1. Sebuah pinggan pasu tempat mukul.
  2. Uis teba/arinteneng untuk lanam pinggan pasu.
  3. Belo cawer ditaruh di bawah pinggan.
  4. Amak cur untuk tempat duduk.
  5. Ayam untuk sangkep.
Upacara mesur-mesuri tersebut diawali dengan ayam sangkep ditaruh diatas pinggan pasu beralaskan uis arinteneng dan belo cawer. Ayam sangkep ditata secara lengkap (utuh) dan ditambahkan dengan sebutir telur ayam.
Kemudian wanita yang hamil tujuh bulan tersebut beserta suaminya di dudukan diatas amak cur (tikar) lalu diberi makan dengan lauk ayam sangkep serta telur tersebut. Barulah setelah mereka makan, maka keluarga (sangkep enggeluh) yang hadir makan secara bersama-sama.

Selesai makan maka dilanjutkan dengan musyawarah keluarga (runggun) untuk membicarakan hal-hal sebagai berikut:
  • Makna dari telajor ayam sangkep yang telah diteliti/diramal maknanya.
  • Menek-memenek (saling kecewa satu sama lain/akar pahit) antara satu sama lain dalam kalangan keluarga (suami istri, orang tua, dsb).
  • Keinginan yang belum tercapai.
Bilamana ada masalah-masalah diatas dibukakan, maka pihak keluarga berusaha memberikan saran-saran (nasihat) bagaimana menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan dengan dasar kekelengen (kasih).

Source : silima-merga.blog

sábado, 8 de janeiro de 2011

Cabur Bulong

Cabur Bulong adalah suatu upacara perkawinan semu antara anak perempuan Kalimbubu dengan anak lelaki dari Anak Beru semasa masih kanak-kanak. Upacara ini biasanya dilakukan untuk menolak bala bilamana ada anak Kalimbubu ataupun anak dari pihak Anak Beru yang sering sakit-sakitan misalnya.

Jadi untuk menghindari bahaya kematian atas si anak yang sakit-sakitan tersebut dikiasi dengan cara kawin semu sebagai upaya penolak bala. Sebelum diadakan perkawinan semu tersebut biasanya dilakukan penelaah (dirasikan) apakah anak-anak yang akan dikawinkan tersebut serasi atau tidak. Bilamana menurut telaah (ramalan) serasi barulah diadakan perkawinan Cabur Bulong tersebut.

Upacara perkawinan dilakukan seperti acara Mukul dimana kedua pengantin disatukan makan (Mukul) dengan lauk Ayam Sangkep dan di osei kain adat kemudian Uang Jujuren diserahkan kepada Kalimbubu (orang tua si anak perempuan). Oleh karena itu sesungguhnya terhadap kedua anak tersebut telah melekat/diikat oleh adat perkawinan

terça-feira, 4 de janeiro de 2011

Upacara Kematian


Kematian dalam adat Karo secara umum dibagi dalam 3 (tiga) jenis yakni ;
  1. Cawir Metua, adalah apabila umur yang meninggal tersebut sudah lanjut dan anak-anaknya semua sudah berkeluarga (menikah) dan sudah pula diupacarai dengan acara �Ngembahken Nakan� (memberi makan orang tua yang sudah uzur atau lama sakit dan dianggap kecil kemungkinan untuk sembuh) .
  2. Tabah-Tabah Galoh, merupakan kematian yang belum berumur lanjut, akan tetapi anak-anaknya sudah berkeluarga (menikah) semua.
  3. Mate Nguda, adalah suatu kematiaan ketika masih berusia muda, belum menikah dan bila sudah menikah, anak-anaknya belum menikah semua.

Sedangkan dipandang dari penyebab kematian dibagi dalam 9 (sembilan) jenis yakni ;
  1. Mati dalam kandungan, roh yang mati tersebut disebut Batara Guru.
  2. Mati belum dikenal kelaminnya (prematur), rohnya disebut Guru Batara atau Sabutara.
  3. Mati sesudah lahir, roh yang mati tersebut disebut Bicara Guru.
  4. Mati belum tumbuh gigi, anak yang mati ini harus dikubur, dibungkus dengan kain putih (dagangen) dikeluarkan dari rumah adat dari pintu perik (jendela), seseorang menjulurkannya dari rumah dan yang lainnya menerimanya dari luar, penguburannya harus secara rahasia karena takut dicuri orang. Menurut kepercayaan orang-orang yang percaya pada ilmu gaib mayat bayi yang belum tumbuh gigi tersebut dapat dipergunakan untuk kelengkapan ilmu gaib (misalnya Puko = Aji Sirep). Konon Aji Sirep ini digunakan oleh maling-maling atau rampok agar penghuni rumah yang mau dirampoknya dalam keadaan tertidur pulas sehingga dia bebas beraksi.
  5. Anak-anak mati telah tumbuh gigi.
  6. Mati perjaka/gadis, pada kematian yang seperti ini bila dia perjaka, Anak Beru akan memasukkan kemaluan yg meninggal ini pada seruas bambu dan bila yang meninggal gadis, maka pada kemaluannya akan dimasukan tongkol jagung disertai ucapan: �Enda sekerajangenmu� (ini bagianmu). Adapula yang menyebutkan, �Enggo pejabu kami kam, enggo sai utang kami� (anda telah kami kawinkan, karena itu kewajiban kami telah selesai). Kata-kata enda sekerajangenmu (ini bagianmu) oleh sebagian orang dipercayai agar roh yang meninggal ini tidak penasaran/ngiler (teran) karena belum merasai �sorga dunia� (hubungan intim suami istri). Dan kata-kata, �Enggo pejabu kami kam, enggo sai utang kami� dari Anak Beru yang merupakan suatu pernyataan dari Anak Beru yang mengatakan tugasnya sudah selesai untuk mengantarkan/mengurus anak kalimbubunya sampai kejenjang pernikahan.
  7. Mati melahirkan, (sirang ture)
  8. Mati kayat-kayaten, (sakit-sakitan)
  9. Mate sada wari, (meninggal karena kecelakaan), kuburan orang ini dipisahkan dari kuburan umum dan biasanya dibuat dekat rumah ditanami galoh dan dipuja.

Bahwa dari rupa-rupa kematian diatas pelaksanaan adatnya ada kalanya ada tambahan-tambahan khusus tapi ucapara gendangnya hampir sama. Tambahan-tambahan khusus tersebut misalnya seperti terhadap kematian perjaka atau gadis pada kemaluan laki-laki dipasang ruas bambu dan pada kemaluan gadis dimasukan tongkol jagung. Tadi telah diuraikan bahwa pada kematian yang disebabkan keadaan-keadaan yang berbeda maka roh yang mati tersebut dipanggil dengan sebutan berbeda-beda pula.

Recent Post