Latest News

sexta-feira, 25 de junho de 2010

Proses Pernikahan pada Suku Karo dan Pesta Adatnya




Proses Pernikahan pada Suku Karo dan Pesta Adatnya

Kita terlebih dahulu diajak kembali kira-kira 100 tahun yang lalu.
Kondisi kehidupan masyarakat Karo pada saat itu masih cukup sederhana dalam segala aspek.
populasi penduduk belum ramai, perkampungan masih kecil, ada dua atau tiga rumah adat waluh jabu ditambah beberapa rumah sederhana satu dua.
Kalau sudah ada sepuluh rumah adat baru dapat dikatakan perkampungan tersebut ramai.

Sarana dan prasarana jalan belum ada, hanya jalan setapak yang menghubungkan satu kampung dengan kampung yang lain.
Kegiatan ekonomi dan perputaran uang hanya baru sebagian kecil saja.
Hanya pedagang yang disebut dengan 'Perlanja Sira' yang sesekali datang untuk berdagang secara barter (barang tukar barang)

Pekerjaan yang dilakukan hanyalah kesawah dan keladang (kujuma kurumah),
ditambah menggembalakan ternak bagi pria dan menganyam tikar bagi wanita.
Pemerintahan yang ada hanya sebatas pemerintahan desa.
Kepercayaan yang ada adalah aninisme, dina-misme yang disebut 'perbegu'.
Alat dapur yang dipakai masih sangat sederhana, priuk tanah sebagai alat memasak nasi dan lauk pauknya,
walau ada juga yang telah memasak dengan priuk gelang-gelang atau priuk tembaga/besi, tempat air kuran.

Namun demikian kehidupan berjalan terus, meneruskan generasi dilaksakan dengan orang yang sudah dianggap dewasa berkeluarga,
dikatakan dewasa bagi seorang pria adalah ketika dia telah dapat membuat ukat, kuran atau membuka ladang,
bagi wanita telah dapat menganyam tikar dan memasak nasi dan lauk pauk.

Proses Pernikahan
Proses ataupun tahapan yang akan dilaksanakan bila ingin berkeluarga pada pria dewasa dinamai 'Anak Perana' dan wanita dewasa dinamai 'Singuda-nguda'.
Ada lima tahapan yang harus dijalankan yaitu :

1. Naki-naki
Anak Perana yang ingin menikah terlebih dahulu mencari seorang singuda-nguda, yang dianggapnya cocok, tidak sumbang (tidak satu satu marga), tetapi harus sesuai dengan adat Karo.
Melakukan komunikasi melalui perantaraan, sampai ada kesediaan siwanita menerima kehadirannya.


2. Maba Nangkih
Jika sudah saling menyukai, diteruskan dengan membawa siwanita 'Nangkih' ke rumah anak beru si pria.
Sebagi tanda melalui perantara diberikan 'Penading' kepada orang tua si wanita.
Orang tua si wanita seolah-olah kaget menerimanya, seakan mereka tidak tahu dan tidak menyetujuinya, dan seterusnya.
Namun demikian dua atau tiga hari kemudian beberapa orang ibu-ibu menemani ibu si wanita menghantarkan nasi/makanan kepada anaknya.
Melakukan pembicaraan dengan pihak pria mengenai kelanjutannya, dan seterusnya.


3. Ngembah Belo Selambar
Setelah dilakukan pembicaraan dengan yang baik antara kedua belah pihak,
selanjutnya pihak pria mendatangi pihak keluarga si wanita bersama sembuyak, senia dan anak berunya,
demikian pula pihak wanita bersama sembutyak, senina dan anak berunya telah bersiap menyambut kedatangan pihak pria.
Yang datang terbatas, cukup membawa satu atau dua ekor ayam untuk dugulai dan beras secukupnya.
Biasanya malam setelah selesai makan dilaksanakan pembicaraan atapun musyawarah (runggu)
isinya hanya satu yaitu meminta kesediaaan dengan senang hati dari orang tua si wanita dalam keinginan anaknya menikah,
tentunya ikut juga dukungan dari anak beru, bila sudah bersedia dan dengan senang hati orang tua siwanita (kalimbubu) acar tersebut telah selesai.
Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, keesokan harinya pihak si pria beserta kedua calon pengantin dapat langsung pulang.


4. Nganting Manuk
Biasanya acara ini dilaksanakan pada saat pekerjaan tidak begitu sibuk, padi telah dipanen sekali.
Pembicaraan ini harus dihadiri lebih lengkap dan lebih penting.
Singalo bere-bere harus dipanggil, lengkap sangkep ngeluh. Makanan lebih banyak dibawa (boleh kambing atau babi),
tidak lagi hanya ayam. Melihat bentuk pertemuan dan kesanggupan dan kehormatan pihak yang datang.
Waktunya boleh malam hari atau pagi menjelang siang hari.
Banyaknya yang hadir kira-kira memenuhi rumah adapt ataupun sekitar 2 -3 kaleng beras untuk dimasak.
Dalam acara ini yang dibicarakan adalah mengenai pelaksanaan pesta adat, kapan waktunya,
berapa yang harus titangngung dan berapa utang adat yang harus dibayarkan.

Tingkatan Pesta ada tiga pilihan yaitu ;
Singuda, pesta adatnya dilakukan dirumah saja,
Sintengah, bila kumpul seluruh sanak family,
Sintua, bila ditambah pengantin rose, (berpakaian adat lengkap) ergendang (musik tradisional) dan memotong lembu atau kerbau.
Tanggungan pihak pengantin pria, seperti pembayaran utang adapt tentunya disesuaikan dengan tingkatan pestanya adatnya.
Dikarenakan telah didapat kesepakatan untuk melaksanakan pesta adat, maka ditanyalah kalimbubu singalo bere-bere,
apa yang akan menjadi hadiah perkawinan (luah/pemberian) yang akan diserahkan sebagai tanda restu kepada beberenya yang akan menikah.

Tentunya hal ini akan ditanyakan terlebih dahulu kepada beberenya, apa keinginannya, dan keinginan ini tidak dapat tidak disampaikan/disetujui.
Mama si wanita akan memerintahkan kepada turangnya (ibu si wanita) agar menyediakan permintaan tersebut.
Pada Nganting Manuk ini juga ditetapkan belin gantang tumba, banyaknya makanan yang harus dipersiapkan.
Biasanya pesta dilaksanakan setelah selesai panen.


5. Kerja Adat Perjabun
Ini adalah tahapan terakhir mensyahkan telah diselesaikan adapt pernikahan.
Telah syah menjadi satu keluarga yang baru.
Semua akan berkumpul pada pesta adat seperti yang telah disepakati bersama.
Dahulu tempat pesta tidak ada dirumah pasti tidak muat jadi pesta dilaksanakan di tempat lapang atau dibawah kayu rindang.
Bila pada saat pesta panas terik maka anak beru kedua belah pihak akan mendirikan tempat berteduh yang terbuat dari kayu, daun rumbia atau daun/pelepah kelapa.
Tikar tempat duduk dan kayu bakar telah dipersiapkan oleh pihak siwanita.
Dikarenakan pada saat itu fasilitas apapun tidak ada, maka diminta kepada penduduk desa untuk memasak makanan,
masing-masing 2-3 tumba berikut dengan sumpitnya (tempat nasi) dan membawanya ketempat pesta dilaksanakan.

Lauk pauk (daging) langsung dibagi lima, dua bagian untuk pihak pria,
dua bagian untuk pihak wanita dan satu bagian untuk singalo bere-bere.
Jadi jelaslah bagi kita bahwa ketiga komponen inilah yang berperan penting.
Sukut si empo (pihak pria) bersama sangkep nggelunya, begitu juga pihak wanita.
Tidak ketinggalan singalo bere-bere bersama sangkep nggeluhnya inilah yang disebut dengan Kalimbubu Si Telu Sedalanen (hal ini akan kita bicarakan dilain waktu)

Masing-masing ketiga kelompok ini membawa anak berunya untuk menyiapkan makanan seperti yang telah dibagikan tadi.
Jika kalimbubu si ngalo ulu emas dari pihak pria, boleh tidak hadir disitu, akan didatangi dikemudian hari untuk membayar utang adat.
Pada waktu dulu tidak ada pidato-pidato seperti sekarang ini, kalimbubu singalo bere-bere memberikan hadiah dan doa restunya.
Untuk mensyahkan pernikahan menurut adat telah selesai, selanjutnya akan dijalankan terlebih dahulu 'si arah raja',
ini ditangani oleh Pengulu atau Pemerintah, besarnya Rp. 15,- uang perak, dinamakan si mecur,
diberikan kepada seluruh komponen yang berhak menerima, ulu emas, bena emas, perkempun, perbibin, perkemberahen, dan lainya.
Setelah itu Rp. 60,- uang perak unjuken untuk pihak si wanita,
selebihnya dinamakan tepet-tepet dijalankan oleh anak beru kedua belah pihak saja.


Pesta Pernikahan terbagi atas tiga jenis :
Kerja Erdemu Bayu, bila jumpa impal, ngumban ture buruk, jumpa kalimbubu ayah, kembali kepada kampahnya bila jumpa kalimbubu nini.
Kerja Petuturken, jumpa kelularga yang baru, terlebih dahulu bertutur.
Kerja Ngeranaken, bila ada yang harus dimusyawarahkan, misal tuturnya turang impal, tutur sepemeren, ada yang harus diperbaiki sabe ataupun denda, nambari pertuturen.


Demikianlah sekilas Kronologis "Proses Pernikahan pada Suku Karo dan Pesta Adatnya, pada zaman dulu".
hal ini sebagai kilas balik sesuai dengan zamanya.



Sumber :
Warta GBKP Maranatha Ditulis oleh Y. Sinuraya
(Naskah Asli dalam bahasa Karo)

Kerja Tahun / Merdang Merdem



Merdang Merdem atau Kerja tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo.
Konon merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai.
Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai.

Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah.
Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh.
Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi.
Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda.
Kecamatan Munte merayakan merdang merdem pada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.
Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.


* Hari pertama, cikor-kor.
Hari tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah.
Umumnya lokasinya di bawah pepohonan.
Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.

* Hari kedua, cikurung.
Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah.
Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.

* Hari ketiga, ndurung.
Hari ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai.
Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan.
Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut, kaperas, belut.

* Hari keempat, mantem atau motong.
Hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak.
Pada hari itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.

* Hari kelima, matana.
Matana artinya hari puncak perayaan.
Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi kerabatnya.
Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan.
Pada saat tersebut semua penduduk bergembira.
Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan.
Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta.
Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional.
Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut diundang menambah suasana semakin semarak.
Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan.
Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib makan.

* Hari keenam, nimpa.
Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa disebut lepat.
Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut.
Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan.
Tidak lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran cimpa.
Untuk kecamatan lain di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires yang dalam bahasa indonesia disebut lemang.
Cimpa atau lemang daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya.
Oleh karena itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.

* Hari ketujuh, rebu.
Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya.
Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan.
Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya.
Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai.
Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu.
Seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta.
Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung.
Hari besok telah menanti untuk kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.

Source : silima-merga.blog

Recent Post