Latest News

segunda-feira, 8 de novembro de 2010

Gendang Adat Nuruken Simate



Gendang Adat Nuruken Simate

Gendang Adat Nuruken Simate (Gendang Penguburan), sebagian mayat dikuburkan diadakan pesta adat penguburan dan setelah mayat dibawa dari rumah ke kesain, terlebih dahulu keluarga dekat dan anak rumah membuat sirang-sirang yakni kuku kaki dan tangan dikikis dipasang pada daun sirih dan dimasukan kedalam peti mati.

Dilanjutkan dengan Erpangir bas pas-pasen (halaman teras rumah) bagi si janda atau duda yang ditinggal mati dilangir dengan lau penguras (air jeruk purut, jera) dan tentu saja dengan mantra-mantra tertentu.

Kemudian acara dilanjutkan dengan tek-tek ketang, dimana diambil sebilah rotan ditaruh bantalan kayu dan dipotong dengan pisau (parang/sekin) sekali tetak dengan tangan kiri.
Menurut kepercayaan bilamana dengan sekali tetak rotan tidak putus maka janda atau duda yang ditinggal mati tak lama lagi akan menyusul yang mati alias meninggal dunia pula.

Acara kemudian dilanjutkan dengan Gendang Jumpa Teroh, tapi bagi sebagian daerah hal ini tidak ada.
Kemudian acara dilanjutkan dengan upacara Gendang Nangketken Ose.

Menurut adat Karo, pertama kalinya gendang dilaksanakan tanpa diikuti penari-penari (gendang dibuang sekali).
Gendang ini adalah acara bagi roh-roh leluhur yang sudah meninggal dunia, tapi sekarang gendang ini disebut Gendang Pesikapen (bersiap-siap).

Source Code

Perumah Begu



Perumah Begu ( Memanggi Roh Yg Sudah Meninggal)

Setelah selesai acara penguburan, pada malam harinya roh yang meninggal tersebut dipanggil melalui Guru Sibaso
(dukun yang lehernya bisa mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu dan bisa ditafsirkan oleh dukun tersebut).
Acara ini dilakukan setelah makan malam, dan acara tersebut diiringi oleh musik (gendang).

Acaranya dimulai dengan tabuhan gendang perang sebanyak empat kali berturut-turut sebagai berikut :

  1. Gendang perang pertama dibuang (tidak ada yang menari) dahulu di peruntukan bagi roh-roh leluhur yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, tetapi sekarang disebut sebagai Gendang Persikapken (siap-siap).
  2. Gendang perang kedua menari sukut, sembuyak, senina.
  3. Gendang perang ketiga menari kalimbubu, puang kalimbubu.
  4. Gendang perang keempat menari anak beru dan anak beru mentri.
Selesai Gendang perang empat kali tersebut, maka menari Guru Sibaso agar ia kesurupan roh dari yang telah meninggal dunia tersebut dan juga roh-roh keluarga yang telah meninggal dunia terlebih dahulu.

Biasanya melalui guru (dukun) tersebut roh yang baru meninggal tersebut ataupun roh para keluarga yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dimaksud akan berbicara melalui guru/dukun tersebut.
Sang guru akan berbicara tentang kesan dan pesan keluarga yang baru ditinggalkan dan biasanya tentang peristiwa-peristiwa masa lalu yang berkesan dan kemudian memberi pesan-pesan tertentu kepada keluarga yang ditinggalkan.

Upacara-upacara yang seperti ini dan biasanya sang Guru Sibaso tersebut sebelum acara dimulai melakukan sejumlah penyelidikan kepada keluarga yang baru meninggal tersebut. Hal-hal terutama yang diselidiki adalah kebiasaan-kebiasaan si meninggal dan keluarga dekatnya, sifat-sifatnya dan segala hal ihwal dari keluarga tersebut.

Dan ketika roh-roh yang dipanggil tersebut sudah datang, dan berbicara melalui Guru Sibaso dimaksud maka segala apa yang telah diselidiki terlebih dahulu itu keluar dari mulut Guru Sibaso tersebut yang seolah-olah roh si matilah yang berbicara.

Source : silima-merga.blog

terça-feira, 2 de novembro de 2010

Njujungi Beras Piher

Njujungi Beras Piher adalah suatu upacara yang dilakukan bagi seseorang sebagai ucapan syukur dan berkat untuk keselamatan karena seseorang tersebut telah berhasil dalam menjalankan tugas atau misi tertentu,
atau luput dari kecelakan atau marabahaya, sembuh dari penyakit parah, terkabul cita-citanya dan lain sebagainya.
Adapun peralatan-peralatan yang dipergunakan dalam acara tersebut adalah:
  1. Beras Page Situnggong, yang bermakna untuk keharmonisan, keseimbangan dan kejujuran
  2. Lada (merica), melambangkan ersada kata (persatuan)
  3. Garam (sira), melambangkan kewibawaan (masin kata)
  4. Uis Arinteneng, melambangkan ketentraman (teneng tendi i rumah)
  5. Tumba Rempu Kuling-Kuling, melambangkan Sangkep Enggeloh (hidup sempurna)
  6. Telur Ayam, melambangkan pengaruh
  7. Belo Bujur (sirih), melambangkan persembahan kepada Yang Maha Esa

Erpanger ku Lau

Kata �panger� berarti �langir� karena itu �erpanger� artinya adalah �berlangir�.
Namun pengertian erpanger dalam kepercayaan tradisional Karo bersifat religius (sakral).
Upacara erpanger dapat dilakukan sendiri dan dalam keadaan tertentu dibantu oleh guru (paranormal atau dukun).

Guro-Guro Aron


Guro-Guro Aron

Guro-guro Aron adalah arena muda-mudi Karo untuk saling kenal dan sebagai lembaga untuk mendidik anak muda-mudi mengenal adat.
Dahulu acara ini dibuat sebagai salah satu alat untuk membudayakan seni tari Karo agar dikenal dan disenangi oleh muda-mudi dalam rangka pelestariannya.

Acara ini dilengkapi dengan alat-alat musik khas Karo yakni:
Sarune, gendang (singindungi dan singanaki), juga dari penganak.
Namun sangat disayangkan saat ini musik Karo ini mulai terdesak oleh alat musik keyboard.
Bukan hanya pada Guro-Guro Aron saja wabah musik keyboard ini melanda tapi sudah merambah pada pesta-pesta adat perkawinan.
Sepertinya pada setiap pesta perkawinan pun tanpa adanya musik keyboard tersebut pesta tersebut terasa hambar.

Source : silima-merga.blog

domingo, 31 de outubro de 2010

Penginjilan di Tanah Karo


Menurut Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo 1890-2000 karya Dk.Em.P.Sinuraya,
kabar baik mulai melanda masyarakat Karo pada tahun 1890 sampai saat ini yang bermula dari Karo Jahe.
Sampai saat ini Kristenisasi didaerah masyarakat Karo maju pesat dan ini terbukti dari mayoritas masyarakt Karo beragama Kristen.
Didalam buku yang ditulis Dk.Em.P.Sinuraya tersebut diatas dikisahkan pada tahun 1911 masyarakat Karo di Kaban Jahe telah dibaptis sebanyak 70 orang,
salah satu tokoh Karo terkenal yang ikut dibaptis adalah Sibayak Pa Mbelgah (Sibayak Rumah Kaban Jahe).

Namun sangat disayangkan Sibayak Pa Mbelgah tak lama kemudian keluar dari gereja karena ada perbedaan/pertentangan pendapat antara Pa Mbelgah dengan pendeta.
Pada waktu itu sebagai raja ketika menerima tamu undangan biasanya disambut dengan gendang dan menari sebagai penghormatan terhadap tamu tersebut.
Ketika kebiasaan tersebut ditanyakan Pa Mbelgah kepada pendeta apakah dibolehkan atau tidak,
pendeta menjelaskan tidak boleh karena gendang tersebut dianggap mengandung unsur kekafiran, dan unsur kekafiran tidak boleh dikawinkan dengan agama Kristen.
Sangat disayangkan P.Sinuraya tidak menulis apa yang dimaksud dengan unsur-unsur kekafiran tersebut.

Pada tanggal 28 November 2008 yang lalu di pesta perkawinan putri Dr.Ir Djoni Tarigan di Jakarta,
Ev.Adil Sinulingga SH MA mewawancarai Pdt. Musa Sinulingga mengenai perubahan perubahan sikap GBKP yang semula melarang gendang dalam upacara adat Karo, tetapi saat ini sudah diperbolehkan.
Pdt. Musa Sinulingga memberi penjelasan awalnya pelarangan tersebut bersifat menyeluruh artinya dalam upacara adat tidak boleh ada gendang dan tarian,
tapi ketika memperingati 75 tahun (Jubleum) GBKP pada tahun 1965 hal tersebut diperlonggar dimana yang dilarang hanyalah mengenai gendang perumah begu, erpangir kulau dan yang lainnya yang dianggap berhubungan dengan roh-roh jahat.
Selama gendang dan tarian tersebut dianggap tidak berhubungan dengan roh-roh kegelapan maka hal tersebut tidak dilarang.

Dikatakan lebih lanjut bahwa sikap GBKP tersebut ternyata mendapat dukungan dari tokoh-tokoh adat karo,
sehingga dengan demikian mereka menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

quarta-feira, 13 de outubro de 2010

Sembiring Brahmana


Pada abad 16, Seorang Guru Mbelin dari India bernama Megit Brahmana datang ke Tanah Karo.
Kedatangan Megit Brahmana ke Tanah Karo pertama kali ke kampung Sarinembah,
tempat seorang muridnya dulu di India berkasta Kstaria Meliala bermukim.
Brahmana disebut juga golongan Sarma atau tertinggi dalam kasta di India.

Bersama muridnya ini Megit Brahmana berangkat menuju kuta Talun Kaban (sekarang Kabanjahe)
dimana ada sebuah Kerajaan Urung XII Kuta yang rajanya adalah Sibayak Talun Kaban bermerga Purba.

Di daerah itu dia disambut hangat oleh Sibayak dan rakyatnya.
Megit Brahmana menuturkan pada Sibayak ingin menyebarkan agama pemena (baca : Hindu) di daerah itu.
Maksud kedatangan Megit dan muridnya ini disambut hangat oleh raja dan rakyatnya.
Di daerah itu pula Megit Brahmana kemudian disegani sebagai pemuka agama.
Sibayak lalu mengangkatnya sebagai penasehat pribadinya.


MEGIT BRAHMANA DAN GURU TOGAN RAYA

Suatu hari Sibayak menuturkan masalahnya pada Megit Brahmana kalau dia mempunyai permasalahan dengan Guru Togan Raya.
Tanah-tanah perladangan rakyatnya di kampung Raya dan Samura telah direbut oleh Guru itu.
Guru Togan Raya bermerga Ketaren adalah seorang dukun sakti yang disegani semua orang.
Dia berasal dari kampung Raya.
Namanya Togan berarti menentang siapa saja yang menghadangnya.
Guru itu mempunyai kerbau banyak.
Kemana saja kerbau yang digembalakannya pergi maka tanah itu menjadi miliknya.
Orang-orang yang punya tanah tidak berani menentangnya.
Siapa yang menentang berarti mati.

Sibayak mengharapkan bantuan Megit Brahmana untuk bernegoisasi dengan Guru Togan.
Megit Brahmana dan muridnya orang Meliala tersebut menyanggupinya.
Mereka lalu membuat tempat pemujaan di ladang-ladang rampasan Guru Togan Raya.

Suatu hari ketika sedang bersemedi, mereka bertemu Guru Togan Raya.
Mereka tidak ada saling berucap kata-kata namun menyatukan batin.
Mereka saling menghargai dan menghormati.
Ternyata setelah bertutur, Megit Brahmana dan Meliala adalah Anak Beru Guru Togan Raya.
Akhirnya mereka menyampaikan maksud tujuan mereka. Guru Togan Raya mengabulkannya.
Semua tanah perladangan Sibayak Talun Kaban dikembalikannya.

Semua orang Purba dan anak berunya menyambutnya dengan sukacita.
Sejak saat itu hubungan merga Purba dan Ketaren semakin harmonis.
Tempat pemujaan itu kemudian dinamakan Barung-Barung Berhala,
karena banyak patung-patung berhala pemujaan Guru Mbelin Mbelin Brahmana.
Sekarang Barung Berhala telah menjadi Kuta Berhala.


MECU, MBARU, MBULAN

Karena keinginan Sibayak agar kedua Guru Mbelin itu tidak pergi dari kampungnya Talun Kaban,
maka Sibayak mengawinkan mereka dengan gadis pilihan dari keluarganya.
Guru Mbelin Brahmana akhirnya mendapat 3 putra yang kemudian diberi nama Mecu, Mbaru, dan Mbulan.

Suatu hari Sibayak Talun Kaban dan pengawalnya berburu babi hutan.
Rombongannya menyusuri lembah lau Gurun dan sampai ke sebuah pokok kayu bernama �buah�.
Tiba-tiba anjing yang menyertai mereka mengonggong ke satu tempat.
Di situ ada seekor kepiting besar.
Sibayak melemparkan lembingnya dari bekas kepiting itu keluar air jernih, tempat itu kemudian dinamakan Lau Cimba Simalem.

Kemudian Sibayak Talun Kaban, memindahkan kampungnya dari Talun Kaban ke seberang jurang sungai Lau Cimba Simalem.
Kuta itu kemudian diberi nama Rumah Kabanjahe.
Kabanjahe artinya hilir kaban, karena kampung ini dihilir kampung Kaban dari merga Kaban.

Di kampung itu berdiri Rumah Derpih, Rumah Selat, Rumah Buluh, Rumah Galuh untuk putera-putera Sibayak.
Sementara Guru Mbelin Brahmana mendirikan rumah-rumah anaknya yang bernama Rumah Mecu, Rumah Mbaru, dan Rumah Mbulan.
Sementara Guru Mbelin Meliala mendirikan rumah anaknya di sebelah timur yang bernama Rumah Julu.
Lalu berdiri pula Rumah Jahe dari merga Purba Kuta Kepar.
Dan terakhir Rumah Bale juga dari merga Purba


MECU BRAHMANA DAN KETURUNANNYA

Mecu Brahmana mempunyai keturunan.
Keturunannya kemudian menyebar ke Bulan Julu dan Namo Cekala
Sedangkan di Rumah Mecu Kabanjahe keturunanannya mempunyai 4 rumah adat tetapi dibawah pengulu kesain Rumah Mbaru.


MBULAN BRAHMANA DAN KETURUNANNYA

Mbulan Brahmana mempunyai anak lelaki beberapa orang.
Salah satunya menjadi pengulu di kesain Rumah Mbulan Tanduk.
Rumah adatnya ada dua.

Salah seorang anak laki-lakinya yang paling sulung pergi merantau ke kaki Sinabung.
Disana dia kawin dengan seorang Beru Perangin-angin dan mendapat beberapa orang anak.
Suatu hari keluar dari sebuah lubang kerbau yang sangat banyak dan tidak habis-habisnya.
Putera Mbulan Brahmana bersama anak-anaknya kemudian menutup lubang itu,
dari lubang itu akhirnya tumbuh Buluh Kayan yaitu bambu yang bertuliskan aksara Karo.

Buluh Kayan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Orang-orang dari berbagai kuta berduyun-duyun datang ke kampung itu untuk berobat,
akhirnya kampung itu semakin ramai dan disebut Guru Kinayan yang berasal dari kata Guru Buluh Kayan.

Kemudian putra dari Brahmana di Guru Kinayan itu melanjutkan warisan bapanya sebagai Guru Kinayan.
Sementara bapanya akan melanjutkan perjalanan.
Mulai saat itu semua keturunannya disebut Sembiring Guru Kinayan.

Suatu saat datanglah musim kemarau.
Anak Mbulan Brahmana dan puteranya yang lain mendaki Gunung Sinabung untuk melihat daerah mana yang ada airnya.
Terlihat mereka sebuah kolam air di sebelah hilir Lau Biang.

Brahmana keturunan Mbulan itu melanjutkan perjalanannya ke kampung itu bersama anak laki-lakinya yang lain.
Sementara anak laki-lakinya yang menjadi dukun penyembuh tetap tinggal di Guru Kinayan.
Tibalah mereka di kampung Perbesi.
Anak laki-lakinya kawin dengan Perangin-angin Sebayang.
Keturunannyalah yang menjadi Brahmana Perbesi.

Brahmana keturunan Mbulan itu suatu hari menggembalakan kerbau-kerbaunya yang banyak dari Guru Kinayan dan mendirikan barung-barung di Limang.
Kerbau-kerbau yang digembalakannya bertambah banyak.
Akhirnya dia menetap di Limang.
Keturunannya kemudian menjadi Brahmana Limang.

Salah seorang keturunan Brahmana Perbesi pergi ke Kuta Buara dan bermukim disana.
Sementara keturunannya yang lain pergi ke Bekawar di Langkat dan kawin dengan gadis disana.
Keturunannyalah yang menjadi Brahmana Bekawar di Langkat Hulu.
Keturunannya mendiami kampung Salapian dan Bahorok.

sexta-feira, 25 de junho de 2010

Proses Pernikahan pada Suku Karo dan Pesta Adatnya




Proses Pernikahan pada Suku Karo dan Pesta Adatnya

Kita terlebih dahulu diajak kembali kira-kira 100 tahun yang lalu.
Kondisi kehidupan masyarakat Karo pada saat itu masih cukup sederhana dalam segala aspek.
populasi penduduk belum ramai, perkampungan masih kecil, ada dua atau tiga rumah adat waluh jabu ditambah beberapa rumah sederhana satu dua.
Kalau sudah ada sepuluh rumah adat baru dapat dikatakan perkampungan tersebut ramai.

Sarana dan prasarana jalan belum ada, hanya jalan setapak yang menghubungkan satu kampung dengan kampung yang lain.
Kegiatan ekonomi dan perputaran uang hanya baru sebagian kecil saja.
Hanya pedagang yang disebut dengan 'Perlanja Sira' yang sesekali datang untuk berdagang secara barter (barang tukar barang)

Pekerjaan yang dilakukan hanyalah kesawah dan keladang (kujuma kurumah),
ditambah menggembalakan ternak bagi pria dan menganyam tikar bagi wanita.
Pemerintahan yang ada hanya sebatas pemerintahan desa.
Kepercayaan yang ada adalah aninisme, dina-misme yang disebut 'perbegu'.
Alat dapur yang dipakai masih sangat sederhana, priuk tanah sebagai alat memasak nasi dan lauk pauknya,
walau ada juga yang telah memasak dengan priuk gelang-gelang atau priuk tembaga/besi, tempat air kuran.

Namun demikian kehidupan berjalan terus, meneruskan generasi dilaksakan dengan orang yang sudah dianggap dewasa berkeluarga,
dikatakan dewasa bagi seorang pria adalah ketika dia telah dapat membuat ukat, kuran atau membuka ladang,
bagi wanita telah dapat menganyam tikar dan memasak nasi dan lauk pauk.

Proses Pernikahan
Proses ataupun tahapan yang akan dilaksanakan bila ingin berkeluarga pada pria dewasa dinamai 'Anak Perana' dan wanita dewasa dinamai 'Singuda-nguda'.
Ada lima tahapan yang harus dijalankan yaitu :

1. Naki-naki
Anak Perana yang ingin menikah terlebih dahulu mencari seorang singuda-nguda, yang dianggapnya cocok, tidak sumbang (tidak satu satu marga), tetapi harus sesuai dengan adat Karo.
Melakukan komunikasi melalui perantaraan, sampai ada kesediaan siwanita menerima kehadirannya.


2. Maba Nangkih
Jika sudah saling menyukai, diteruskan dengan membawa siwanita 'Nangkih' ke rumah anak beru si pria.
Sebagi tanda melalui perantara diberikan 'Penading' kepada orang tua si wanita.
Orang tua si wanita seolah-olah kaget menerimanya, seakan mereka tidak tahu dan tidak menyetujuinya, dan seterusnya.
Namun demikian dua atau tiga hari kemudian beberapa orang ibu-ibu menemani ibu si wanita menghantarkan nasi/makanan kepada anaknya.
Melakukan pembicaraan dengan pihak pria mengenai kelanjutannya, dan seterusnya.


3. Ngembah Belo Selambar
Setelah dilakukan pembicaraan dengan yang baik antara kedua belah pihak,
selanjutnya pihak pria mendatangi pihak keluarga si wanita bersama sembuyak, senia dan anak berunya,
demikian pula pihak wanita bersama sembutyak, senina dan anak berunya telah bersiap menyambut kedatangan pihak pria.
Yang datang terbatas, cukup membawa satu atau dua ekor ayam untuk dugulai dan beras secukupnya.
Biasanya malam setelah selesai makan dilaksanakan pembicaraan atapun musyawarah (runggu)
isinya hanya satu yaitu meminta kesediaaan dengan senang hati dari orang tua si wanita dalam keinginan anaknya menikah,
tentunya ikut juga dukungan dari anak beru, bila sudah bersedia dan dengan senang hati orang tua siwanita (kalimbubu) acar tersebut telah selesai.
Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, keesokan harinya pihak si pria beserta kedua calon pengantin dapat langsung pulang.


4. Nganting Manuk
Biasanya acara ini dilaksanakan pada saat pekerjaan tidak begitu sibuk, padi telah dipanen sekali.
Pembicaraan ini harus dihadiri lebih lengkap dan lebih penting.
Singalo bere-bere harus dipanggil, lengkap sangkep ngeluh. Makanan lebih banyak dibawa (boleh kambing atau babi),
tidak lagi hanya ayam. Melihat bentuk pertemuan dan kesanggupan dan kehormatan pihak yang datang.
Waktunya boleh malam hari atau pagi menjelang siang hari.
Banyaknya yang hadir kira-kira memenuhi rumah adapt ataupun sekitar 2 -3 kaleng beras untuk dimasak.
Dalam acara ini yang dibicarakan adalah mengenai pelaksanaan pesta adat, kapan waktunya,
berapa yang harus titangngung dan berapa utang adat yang harus dibayarkan.

Tingkatan Pesta ada tiga pilihan yaitu ;
Singuda, pesta adatnya dilakukan dirumah saja,
Sintengah, bila kumpul seluruh sanak family,
Sintua, bila ditambah pengantin rose, (berpakaian adat lengkap) ergendang (musik tradisional) dan memotong lembu atau kerbau.
Tanggungan pihak pengantin pria, seperti pembayaran utang adapt tentunya disesuaikan dengan tingkatan pestanya adatnya.
Dikarenakan telah didapat kesepakatan untuk melaksanakan pesta adat, maka ditanyalah kalimbubu singalo bere-bere,
apa yang akan menjadi hadiah perkawinan (luah/pemberian) yang akan diserahkan sebagai tanda restu kepada beberenya yang akan menikah.

Tentunya hal ini akan ditanyakan terlebih dahulu kepada beberenya, apa keinginannya, dan keinginan ini tidak dapat tidak disampaikan/disetujui.
Mama si wanita akan memerintahkan kepada turangnya (ibu si wanita) agar menyediakan permintaan tersebut.
Pada Nganting Manuk ini juga ditetapkan belin gantang tumba, banyaknya makanan yang harus dipersiapkan.
Biasanya pesta dilaksanakan setelah selesai panen.


5. Kerja Adat Perjabun
Ini adalah tahapan terakhir mensyahkan telah diselesaikan adapt pernikahan.
Telah syah menjadi satu keluarga yang baru.
Semua akan berkumpul pada pesta adat seperti yang telah disepakati bersama.
Dahulu tempat pesta tidak ada dirumah pasti tidak muat jadi pesta dilaksanakan di tempat lapang atau dibawah kayu rindang.
Bila pada saat pesta panas terik maka anak beru kedua belah pihak akan mendirikan tempat berteduh yang terbuat dari kayu, daun rumbia atau daun/pelepah kelapa.
Tikar tempat duduk dan kayu bakar telah dipersiapkan oleh pihak siwanita.
Dikarenakan pada saat itu fasilitas apapun tidak ada, maka diminta kepada penduduk desa untuk memasak makanan,
masing-masing 2-3 tumba berikut dengan sumpitnya (tempat nasi) dan membawanya ketempat pesta dilaksanakan.

Lauk pauk (daging) langsung dibagi lima, dua bagian untuk pihak pria,
dua bagian untuk pihak wanita dan satu bagian untuk singalo bere-bere.
Jadi jelaslah bagi kita bahwa ketiga komponen inilah yang berperan penting.
Sukut si empo (pihak pria) bersama sangkep nggelunya, begitu juga pihak wanita.
Tidak ketinggalan singalo bere-bere bersama sangkep nggeluhnya inilah yang disebut dengan Kalimbubu Si Telu Sedalanen (hal ini akan kita bicarakan dilain waktu)

Masing-masing ketiga kelompok ini membawa anak berunya untuk menyiapkan makanan seperti yang telah dibagikan tadi.
Jika kalimbubu si ngalo ulu emas dari pihak pria, boleh tidak hadir disitu, akan didatangi dikemudian hari untuk membayar utang adat.
Pada waktu dulu tidak ada pidato-pidato seperti sekarang ini, kalimbubu singalo bere-bere memberikan hadiah dan doa restunya.
Untuk mensyahkan pernikahan menurut adat telah selesai, selanjutnya akan dijalankan terlebih dahulu 'si arah raja',
ini ditangani oleh Pengulu atau Pemerintah, besarnya Rp. 15,- uang perak, dinamakan si mecur,
diberikan kepada seluruh komponen yang berhak menerima, ulu emas, bena emas, perkempun, perbibin, perkemberahen, dan lainya.
Setelah itu Rp. 60,- uang perak unjuken untuk pihak si wanita,
selebihnya dinamakan tepet-tepet dijalankan oleh anak beru kedua belah pihak saja.


Pesta Pernikahan terbagi atas tiga jenis :
Kerja Erdemu Bayu, bila jumpa impal, ngumban ture buruk, jumpa kalimbubu ayah, kembali kepada kampahnya bila jumpa kalimbubu nini.
Kerja Petuturken, jumpa kelularga yang baru, terlebih dahulu bertutur.
Kerja Ngeranaken, bila ada yang harus dimusyawarahkan, misal tuturnya turang impal, tutur sepemeren, ada yang harus diperbaiki sabe ataupun denda, nambari pertuturen.


Demikianlah sekilas Kronologis "Proses Pernikahan pada Suku Karo dan Pesta Adatnya, pada zaman dulu".
hal ini sebagai kilas balik sesuai dengan zamanya.



Sumber :
Warta GBKP Maranatha Ditulis oleh Y. Sinuraya
(Naskah Asli dalam bahasa Karo)

Kerja Tahun / Merdang Merdem



Merdang Merdem atau Kerja tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo.
Konon merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai.
Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai.

Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah.
Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh.
Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi.
Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda.
Kecamatan Munte merayakan merdang merdem pada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.
Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.


* Hari pertama, cikor-kor.
Hari tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah.
Umumnya lokasinya di bawah pepohonan.
Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.

* Hari kedua, cikurung.
Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah.
Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.

* Hari ketiga, ndurung.
Hari ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai.
Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan.
Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut, kaperas, belut.

* Hari keempat, mantem atau motong.
Hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak.
Pada hari itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.

* Hari kelima, matana.
Matana artinya hari puncak perayaan.
Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi kerabatnya.
Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan.
Pada saat tersebut semua penduduk bergembira.
Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan.
Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta.
Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional.
Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut diundang menambah suasana semakin semarak.
Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan.
Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib makan.

* Hari keenam, nimpa.
Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa disebut lepat.
Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut.
Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan.
Tidak lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran cimpa.
Untuk kecamatan lain di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires yang dalam bahasa indonesia disebut lemang.
Cimpa atau lemang daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya.
Oleh karena itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.

* Hari ketujuh, rebu.
Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya.
Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan.
Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya.
Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai.
Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu.
Seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta.
Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung.
Hari besok telah menanti untuk kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.

Source : silima-merga.blog

terça-feira, 2 de março de 2010

Piso Surit


Piso dalam bahasa Karo sebenarnya berarti pisau dan banyak orang mengira bahwa Piso Surit merupakan nama sejenis pisau khas orang karo. Sebenarnya Piso Surit adalah nama sejenis burung yang suka bernyanyi. Kicau burung ini bila didengar secara seksama sepertinya sedang memanggil-manggil seseorang dan kedengaran sangat menyedihkan.

Tarian Piso Surit adalah tarian yang menggambarkan seorang gadis yang sedang menantikan kedatangan kekasihnya. Penantian tersebut sangat lama dan menyedihkan dan digambarkan seperti burung Piso Surit yang sedang memanggil-manggil.

Lagu Piso Surit Diciptakan Oleh Djaga Depari salah seorang tokoh masyarakat karo sekaligus komponis nasional pada masa orde lama.

terça-feira, 19 de janeiro de 2010

Merga Silima Dalam Suku Karo


Silima Merga 

Mungkin ada beberapa diantara kita sudah mengetahui apa saja Silima Merga itu.
Dan tentunya ada juga diantara kita yang tidak tahu banyak apa saja Silima Merga itu.
Berikut kami sajikan Merga Silima buat teman-teman Silima Merga dimanapun berada.
Dan bila ada penulisan kami yang salah atau ada beberapa yang tidak ditampilkan segera memberikan informasi kepada kami melalui Email kami dan pasti segera kami perbaiki.

Berikut Silima Merga Tersebut:

1. KARO-KARO

* Barus

* Bukit
* Guru Singa
* Jung
* Kaban
* Kacaribu
* Karo Sekali
* Kemit
* Ketaren
* Purba
* Samura
* Sinubulan
* Sinuhaji
* Sinukaban
* Sinulingga
* Sinuraya
* Sitepu
* Surbakti

2. GINTING
* Ajartambun
* Babo
* Siberas
* Capah
* Garamata
* Gurupatih
* Jadibata
* Jawak
* Manik
* Munte
* Pase
* Seragih
* Sinusinga
* Sugihen
* Suka
* Tumangger

3. TARIGAN
* Bondong
* Ganagana
* Gerneng
* Gersang
* Jampang
* Pekan
* Purba
* Silangit
* Sibero
* Tambak
* Tambun
* Tua
* Tegur

4. SEMBIRING
* Berahmana
* Bunuhaji
* Busuk
* Colia
* Depari
* Gurukinayan
* Keling
* Keloko
* Kembaren
* Maha
* Meliala
* Muham
* Pandebayang
* Pandia
* Pelawi
* Sinukapar
* Sinulaki
* Sinupayung
* Tekang

5. PERANGIN-ANGIN
* Bangun
* Benjerang
* Kacinambun
* Keliat
* Laksa
* Limbeng
* Mano
* Namohaji
* Penggarun
* Perbesi
* Pencawan
* Pinem
* Sebayang
* Singarimbun
* Sinurat
* Sukatendel
* Tanjung
* Ulujandi
* Uwir

Source : silima-merga.blog

Tutur Siwaluh



Tutur Siwaluh

Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan,
yaitu terdiri dari delapan golongan:


1. puang kalimbubu
2. kalimbubu
3. senina
4. sembuyak
5. senina sipemeren
6. senina sepengalon/sedalanen
7. anak beru
8. anak beru menteri

Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan,
yaitu sebagai berikut:

1. Puang kalimbubu
adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang


2. Kalimbubu
adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu,
kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:
Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberiisteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari keluarga tersebut.
Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A.
Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A.
Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.

* Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang.
Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang.
Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.

* Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya.
Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.


3. Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.


4. Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama.
Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).


5. Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung.
Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.


6. Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.


7. Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri.
Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu,
dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.
Anak beru ini terdiri lagi atas:

* anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun.
Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya).
Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai.
Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara),
karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.

* Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya.
Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga.
Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B,
maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A.
Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.


8. Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru.
Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan.
Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk,
mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat.
Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri.
Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.

Rakut si Telu

Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga.
Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo.
Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu


1. Kalimbubu

Kalimbubu adalah kelompok pemberi dara dalam Masyarakat Karo, kalimbubu ini ada beberapa jenis, yaitu:

- kalimbubu tua/ kalimbubu bena-bena;
- kalimbubu simupus/kalimbubu dareh;
- kalimbubu kampah;
- kalimbubu simajek dalikan;
- kalimbubu siperdemui;
- kalimbubu sembuyak;
- kalimbubu taneh/kalimbubu sinajek lulang;
- puang kalimbubu (kalimbubu dari kalimbubu);
- puang ni puang (kalimbubu dari puang kalimbubu).

Mehamat Erkalimbubu

Kalimbubu ibas kalak Karo emekap si harus ihamati ras ikelengi.
Adi kalak karo si dekah erdalan itengah kerangen ras kalimbubu la banci lang anak beru arah lebe, ertina adi lit musuh entah pe rubia-rubia si merawa entah pe duri entahpe bulung si megatel gelah anak beru kena leben, gelah selamat kalimbubu ibas bahaya nari.
Bagepe adi erdalan pagi-pagi namuren denga dalan, anak beru nge arah lebe, gelah enggo keri namur e isapu anak beru segelah kalimbubu lanai namuren.
Adi ngerana kalimbubu ibas sada runggun labo banci ia isimbaki.
"Bagi page ibas lebeng pe ikurkuri gelah lit man nakan turang" Bagem kuan-kuan kalak Karo ncidahken kekelengen anak beru nandangi kalimbubu.


2. Senina

Senina adalah kelompok yang semarga dalam Masyarakat Karo, senina ini ada beberapa jenis, yaitu:

- sembuyak;
- senina siparibanen;
- senina sipemeren;
- senina sipengalon;
- senina sicimbangen.

Metenget Ersenina

Senina eme si rusur teman runggu. Adi kalak Karo si dekah Senina Sada Utang Sada Ido nina.
Utang seninanta banci nge itunggu kalak man banta, bagepe ido seninanta tek ka nge kalak kita ngalokenca.
Metenget ersenina perlu kal ijaga gelah ula sempat retak, rubat.
Teman meriah enterem nge, tapi teman tangis senina e ka ngenca.
Emaka rugi kal adi kita rubat ersenina, dalan sirang labo lit, emaka arus metenget gelah ula sempat rubat, nggit sitewasen, ula subuki anem la pe iakap teng-tengsa.
Ulin min si ban man seninanta asa man ise pe sebab e nge teman ngandung ras ermeriah ukur.
Adi lit si la tabehen ukur ras seninanta si pala-palailah pekenasa.

3. Anakberu

Anakberu adalah kelompok penerima dara dalam Masyarakat Karo, anakberu ini ada beberapa jenis, yaitu:

- anakberu ipupus/anakberu dareh;
- anakberu iangkip;
- anakberu sincekuh baka tutup;
- anakberu tua;
- anakberu singerana, sirunggu (singerakut bide);
- anakberu menteri;
- anakberu singikuri;
- anakberu singikuti.

Metami Man Anak Beru

Kuan kuan kalak Karo "Mangkuk reh, mangkuk lawes", mbages kel ertina.
Adi anak beru enggo erbahan si mehuli nandangi kalimbubu maka kalimbubu pe arus erbahan si mehuli man anak beru, amin gia lain-lain bentukna;

Kalimbubu la banci la erpengagak nandangi anak beruna, bas kai murde la banci lang arus isampatina.
Bage nge ertina jadi dibata ni idah, ngidah kerina situasi.
Bagepe anak beruna la pe isuruh kalimbubuna, enggo leben ikalakina juma kalimbubuna;

Bere-berenta man beren kin. Erpengagak kin jadi kalimbubu, la ipondona si bereken gelah puas kal ukurna.
Gundari bere-bere pe lanai bo tersuruh, adi kita la si cidahken kekelengenta man bana.
Ula min bagi si gundari, erjabu beberena luah si ngalo bere-bere pe palsu, labo mamana e sinukursa tapi siempo nge.
Emaka akapna mamana pe mama palsu nge.
Aturenna ije me i cidahken ate keleng erbere-bere, alu luah mamana, keleng kel atena barang e;

Tole, ula kal si diberu i cekurakina entah pe irawaina turangkuna.
Bage pe si dilaki, ula kal i rawaina ntah ipandangina turangkuna tah silihna.
Adi la si akap teng-teng silihta, banci sidilo turangta, turangta e banci siajarken entah sirawai.
Maka iban kerja Tahun pe gelah setahun sekalilah gia sidahi-dahin.
Kalimbubu ndahi anak beruna ras anak-anak kerina gelah itandaina bengkilana ras impalna, bagepe anak beru nandangi kalimbubu.
Kai kin ateta luahta maka meriah ukur silihta ras beberenta e lah si baba, bageka anak beru nanadangi kalimbubu ras permenna.

sábado, 16 de janeiro de 2010

Turi-Turin Beru Ginting Sope Mbelin


Turi-Turin Beru Ginting Sope Mbelin

Di daerah Urung Galuh Simale ada sepasang suami istri, yaitu Ginting Mergana dan Beru Sembiring. Mereka hidup bertani dan dalam kesusahan. Anak mereka hanya seorang, anak wanita, yang bernama Beru Ginting Sope Mbelin.

Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu 'judi rampah' dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil.

Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring.

Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu.

Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua berres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.

Ada-ada saja upaya dibuat oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakannya dengan baik dan cepat ' karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan pakciknya.

Untuk mengambil hati makcik dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk 'aron' atau 'kerabat kerja tani gotong royong' yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana.

Niat jahat makcik dan pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya.

Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak.

Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan secara adat.

Selanjutnya sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali.

Perjalanan pun dilanjutkan. Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual.

Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh.

Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua ' yang bernama Nenek Uban ' pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini.

Atas petunjuk Nenek Uban ini maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau 'guru mbelin'. Sesampainya di sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: 'Mari cucu, mari, jangan menangis, jangan takut' dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya.

Beru Ginting Sope Mbelin pun menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : 'tanya saja pada nenek saya itu'. Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: 'tanya saja pada cucu saya itu!'. Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi datang melamar.

Ternyata antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang 'tanya saja pada dia!' Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikawinkan asal dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu.

Akhirnya, nenek Datuk Rubia Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikawinkanlah oleh nenek Datuk Rubia Gande menjadi suami-istri.

Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta merestui keberangkatan mereka.

Berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ.

Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana.

Jadinya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati.

Ternyata pakcik Beru Ginting Sope Mbelin dulu ' yang juga seorang dukun ' mempunyai firasat yang kurang baik terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin.

Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana.

Berbagai bunyi-bunyian pun dimainkan, terutama sekali 'gendang tradisional' Karo serta diiringi dengan tarian, antaralain:

a. gendang si ngarak-ngaraki;
b. gendang perang si perangen;
c. gendan perang musuh;
d. gendang mulih-mulih;
e. gendang ujung perang;
f. gendang rakut;
g. gendang jumpa malem;
h. gendang morah-morah;
i. gendang tungo-tungko.

Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri.


Sumber :
Alm. DR. Henry Guntur Tarigan
Yayasan Merga Silima

Sejarah Perkembangan Kabupaten Karo


Sejarah Perkembangan Kabupaten Karo

Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Utara yang dikumandangkan oleh Wakil Gubernur Sumatera Dr. M. Amir pada tanggal 3 Maret 1946, tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja dan kaum feodal pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia. Akibatnya rakyat tidak merasa puas dan mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dinamika perjuangan kemerdekaan. Sistem yang dikehendaki ialah pemerintah yang demokratis berporos kepada kedaulatan rakyat.

Gerakan itu begitu cepat menjalar ke seluruh pelosok daerah Sumatera Timur.Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja ditahan dan dipenjarakan oleh lasykar-lasykar yang tergabung dalam Volks Front. Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya. Istri-istri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah. Sultan langkat di Tanjung pura pun tertangkap. Demikian juga sultan-sultan lainnya seperti Sultan Kualoh Leidong, Sultan Asahan, dan sultan-sultan lainnya ditangkap walaupun melakukan perlawanan tetapi pasukan-pasukannya dapat dikalahkan oleh lasykar-lasykar rakyat. Pada saat itu di Sumatera Timur ada 21 swapraja atau kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan yang dalam Bahasa Belanda dinamakan Inlands Zelfbestuur (swapraja bumiputera).


Demikian pula sebagai follow up dari revolusi sosial itu, pada tanggal 8 Maret 1946, keadaan pun semakin genting di Tanah Karo. Pemimpin pemerintahan di Tanah Karo Ngerajai Meliala beserta pengikut-pengikutnya ditangkap dan diungsikan ke tanah alas Aceh Tenggara. Menghadapi keadaan yang semakin tidak menentu ini, Panglima Divisi X Sumatera Timur, memperlakukan keadaan darurat. Khusus untuk Tanah Karo Panglima mengangkat Mayor M. Kasim, komandan resimen I Devisi X Berastagi menjadi pejabat sementara kepala pemerintahan sebagai pengganti Ngerajai Meliala.


Selanjutnya pada tanggal 13 Maret 1946, Komite Nasional Indonesia Tanah Karo bersama barisan pejuang Tanah Karo, dalam sidangnya berhasil memutuskan antara lain: membentuk pemerintahan Kabupaten Karo dengan melepaskan diri dari keterikatan administrasi kerajaan dan menghapus sistem pemerintahan swapraja pribumi di Tanah Karo dengan sistem pemerintahan demokratis berdasarkan kedaulatan rakyat, kemudian Kabupaten Karo diperluas dengan memasukkan daerah Deli Hulu dan daerah Silima Kuta Cingkes dan selanjutnya mengangkat Rakutta Sembiring Brahmana menjadi Bupati Karo, KM Aritonang sebagai Patih, Ganin Purba sebagai Sekretaris dan Kantor Tarigan sebagai Wakil Sekretaris dan mengangkat para lurah sebagai penganti raja urung yang sudah dihapuskan.


Usul itu disetujui sepenuhnya oleh peserta sidang dan Mr. Luat Siregar mewakili Gubernur Sumatera Utara dan disahkan oleh residen Yunus Nasution yang saat itu ikut di dalam rapat tersebut. Dengan demikian terbentuklah sudah Tanah Karo sebagai suatu daerah dan Rakutta Sembiring ditetapkan sebagai Bupati Kar yang pertama.


Kemudian, setelah pemerintahan Kabupaten Karo terbentuk, di daerah Kabupaten Karo menghadapi banyak persoalan. Penyesuaian kedudukan pejuang dalam pemerintahan, kondisi sosial masyarakat yang buruk dan pembangunan daerah diabaikan oleh pusat serta masalah ketertiban dan keamanan yang sangat mengganggu sehingga otomatis menghambat roda pemerintahan daerah.


Salah satu contohnya, jika beberapa hari sebelumnya oleh KNI diangkat para Lurah sebagai pengganti Raja Urung dengan wilayah kekuasaan pemerintahan yang sama, maka untuk menyesuaikan kebijaksanaan sesuai dengan keputusan Komite Nasional Provinsi tertanggal 18 April 1946, diputuskan bahwa Tanah Karo terdiri dari tiga kewedanan dan tiap kewedanan terdiri dari lima kecamatan.


Kewedanan itu adalah : Kewedanan Karo Tinggi berkedudukan di Kabanjahe dengan wedanannya Netap Bukit, Kewedanan Karo Hilir berkedudukan di Tiga Binanga dengan wedanannya Tama Sebayang dan Kewedanan Karo Jahe berkedudukan di Pancur Batu, dengan wedanannya Keras Surbakti.


Kewedanan Karo Tinggi terdiri dari lima kecamatan :
1. Kecamatan Kabanjahe dengan camatnya Nahar Purba
2. Kecamatan Simpang Empat dengan camatnya Djeneng Ginting
3. Kecamatan Payung dengan camatnya Tampe Perangin-angin/Kendal Keliat
4. Kecamatan Barusjahe dengan camatnya Matang Sitepu
5. Kecamatan Tiga Panah dengan camatnya Djamin Karo Sekali


Kewedanan Karo Hilir terdiri dari lima kecamatan :
1. Kecamatan Tiga Binanga dengan camatnya Mulai Sebayang/ Likat Ginting
2. Kecamatan Munthe dengan camatnya Ngembar S. Meliala
3. Kecamatan Juhar dengan camatnya Pulung Tarigan
4. Kecamatan Kuta Buluh dengan camatnya Masa Sinulingga
5. Kecamatan Mardinding dengan camatnya Nuriken Ginting/Tambaten S. Berahmana


Kewedanan Karo Jahe terdiri dari empat kecamatan :
1. Kecamatan Pancur Batu dengan camatnya Usman Deli
2. Kecamatan Sibiru-biru dengan camatnya Selamat Tarigan
3. Kecamatan Kutalimbaru dengan camatnya Kelang Sinulingga
4. Kecamatan Namorambe dengan camatnya Ya'far Ketaren


Kemudian pada bulan September 1974, Residen Sumatera Timur Abubakar Ja'ar mengeluarkan SK Pembentukan Kewedanan Batu Karang dan Tiga Panah, masing-masing dipimpin oleh Hasan Basri dan Matang Sitepu


Source : silima-merga.blog

Terbentuknya TKR di Tanah Karo


Meskipun Jepang menyatakan menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945 namun serdadu Belanda baru mendarat di Pantai Cermin, pada tanggal 10 Oktober 1945 atau hampir dua bulan setelah Republik Indonesia berdiri, dengan membonceng para serdadu sekutu (Inggris). Serdadu sekutu yang mendarat itu berjumlah 800 orang dengan bersenjata lengkap dan mutakhir, Royal Artelery 26 Th Indian Division dipimpin oleh Brigjen Ted Kelly, yang sebenarnya bertugas menyerbu daratan Semenanjung Malaya.

Dalam situasi demikian, api perjuangan semakin membara di segenap persada nusantara, juga halnya di Sumatera Utara maka saat bersamaan dengan mendaratnya pasukan sekutu di Pantai Cermin.
Di kota Medan dibentuklah tentara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dipimpin oleh Mayor Achmad Tahir dengan kepala markas umum Kapten R. Sucipto.
Namun sebelumnya pada tanggal 29 September 1945 di Kabanjahe telah terbentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI) cabang Tanah Karo, dipimpin oleh Matang Sitepu.

Sebagai ketua umum dibantu oleh Tama Ginting, Payung Bangun, Selamat Ginting, Ulung Sitepu, Rakutta Sembiring, R.M. Pandia, Koran Karo-karo dan Keterangan Sebayang.
Tugas BPI ini cukup berat.
Pertama menyebarluaskan Proklamasi Kemerdekaan ke desa-desa Tanah Karo, Kedua membentuk ranting-ranting BPI di desa-desa, dan ketiga mencari senjata untuk memperkuat barisan.
Beberapa jenis senjata Karabin, Pistol, Pedang panjang yang dikuasai dengan berbagai cara memang sudah dimiliki, namun jauh sekali dari cukup.
Satu-satunya jalan untuk memiliki senjata api itu adalah mengambil atau merebutnya dari tentara Jepang.
Peristiwa yang sangat penting pada saat itu adalah, insiden Tiga Panah pada tanggal 9 Desember 1945 dimana terjadi serangan barisan pemuda terhadap konvoi tentara Jepang.
Terjadilah pertempuran yang sangat seru.
Namun karena jumlah tentara Jepang lebih besar dan bersenjata lengkap serta sudah berpengalaman dalam pertempuran maka dalam pertempuran itu barisan kita terpaksa mengundurkan diri dengan kerugian yang cukup besar. Setelah insiden ini, terjadi reorganisasi kepengurusan Barisan Pemuda Indonesia Tanah Karo.
Dalam proses yang sangat cepat sesuai revolusi, orang pertama BPI Tanah Karo beralih dari Matang Sitepu kepada Payung Bangun dan wakilnya Selamat Ginting.
Di Minggu kedua Desember 1945 beralih lagi pimpinan kepada Selamat Ginting.
Adapun susunan pengurus BPI Tanah Karo setelah itu adalah Selamat Ginting dibantu oleh wakil ketua Tama Ginting serta koordinator-koordinator: Keterangan Sebayang, Ulung Sitepu, Tampe Malem Sinulingga, Turah Perangin-angin, Rakutta Sembiring dan Koran Karo-karo.



Di dalam Barisan Pemuda Indonesia Tanah Karo ini semua potensi pimpinan pemuda dengan berisan-barisan perjuangannya, dirangkul, bergabung ke dalam Barisan Pemuda Indonesia termasuk bekas Gyugun atau Haiho seperti: Djamin Ginting, Nelang Sembiring, Bom Ginting.
Sedangkan dari Talapeta: Payung Bangun, Gandil Bangun, Meriam Ginting, Tampe Malem Sinulingga.
Dari N.V. mas Persada: Koran Karo-karo.
Dari Pusera Medan: Selamat Ginting dan Rakutta Sembiring.
Demikian pula dari potensi-potensi pemuda lain seperti: Ulung Sitepu, Tama Ginting, Matang Sitepu, R.M. Pandia, Batas Perangin-angin dan Turah Perangin-angin.


Dalam proses sejarah selanjutnya, BPI kemudian berubah menjadi BKR (Badan Keselamatan Rakyat) yang merupakan tentara resmi pemerintah dimana Djamin Ginting�s ditetapkan sebagai komandan pasukan teras bersama-sama Nelang Sembiring dan Bom Ginting yang anggotanya antara lain Selamat Ginting�s, Nahud Bangun, Rimrim Ginting, Kapiten Purba, Tampak Sebayang dan lain-lain.
Pada umumnya yang menjadi anggota BKR ini adalah para bekas anggota Gyugun atau Heiho dan berisan-barisan bentukan Jepang. Djamin Ginting.S bekas komandan pleton Gyugun ditunjuk menjadi Komandan Batalyon BKR Tanah Karo.


Di samping itu barisan-barisan rakyat yang tergabung dalam kesatuan lasykar di Tanah Karo juga mengalami penyusunan organisasi.
Barisan lasykar rakyat Napindo Halilintar Tanah Karo dipimpin oleh Selamat Ginting dan Ulung Sitepu dibantu oleh Koran Karo-karo, Tama Ginting, T.M. Sinulingga, Turah Perangin-angin, Batas Perangin-angin, dan Matang Sitepu.
Para pemuda yang bergabung dalam barisan Napindo ini pada mulanya bersifat sukarela dan tidak terikat secara organisatoris, kecuali terdaftar dalam organisasi itu di kampung masing-masing.
Pemuda-pemuda ini berlatih pada sore hari di bawah pimpinan seseorang yang pernah mendapat latihan militer atau semi militer.
Pelatih ini umumnya adalah bekas Gyugun, Haiho, Talapeta, atau peserta kursus sekolah guru.

Dapatlah dibayangkan bagaimana beratnya membentuk pasukan bersenjata kita pada tahap permulaan ini, tapi dengan kesungguhan para komandan pasukan dan para pelatihnya, dapat juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat Republik Indonesia.

Recent Post